Cinta

-142- Ketika Perselingkuhan Mendera

Thursday, January 30, 2014



Bismillahirrohmanirrohim,
Beberapa saat lalu, saya sempat terlibat obrolan panjang dengan Nona Z, perbincangan yang cukup serius, dengan tema yang cukup serius, dan sudah barang pasti, membuat saya berfikir lebih dalam di hari-hari setelahnya.
Nona Z : “Aku dihantui rasa bersalah, bagaimana ya?”
Saya      : “Ke?”
Nona Z : “Tuan H”
Saya      : “Why?”
Nona Z : “aku pernah berjanji bersedia menikah dengannya, tetapi hatiku pernah berbelok ketika ada sosok lain yang lebih serius untuk melamarku. Ku katakan padanya, “silahkan lamar, sebelum aku dilamar orang”, kufikir dengan begitu, ia akan segera melamarku. Tetapi, ternyata ia marah, ia menganggapku telah berkhianat dan tidak setia janji, lalu hubungan kami jadi renggang, apalagi setelah kukatakan aku tak menginginkan hubungan seperti dahulu lagi, kecuali pernikahan. Jawabannya sungguh menyakitkan, katanya permintaanku aneh. Aku sungguh tak tahu dimana letak anehnya.”
Saya      : “tidak setia janji? Memangnya kalian berdua terikat oleh apa? Khitbah juga belum. Pacaran???”
Nona Z : “Ia meminta recovery hubungan. Waktunya sampai kapan, aku juga tak tahu. Ku sampaikan padanya untuk segera menikah saja, itu pilihan yang terbaik untuk kami. Tapi ia menolak”
Saya      : “Recovery hubungan? Ah, saya tak mengerti hubungan itu seperti apa, karena seharusnya diantara kalian tidak ada hubungan. Jadi, maksudnya kalian pacaran??”
Nona Z : “Yah, semacam mendekati hubungan seperti itu. Tapi, tidak dalam bentuk pertemuan fisik ya, kami intens berkomunikasi. Aku juga sudah pernah protes atas kata-katanya yang belum waktunya kepadaku, kusinggung juga mengenai bagaimana seharusnya hubungan lelaki dan perempuan, ia makin marah, kau tahu betapa pahamnya ia akan agama kan?”

Sampai disini, saya menarik nafas cukup dalam. Saya tak perlu banyak memberi nasihat pada mereka, Nona Z dan Tuan H, keduanya saya anggap sebagai orang yang paham ber-agama. Tak perlu mengumbar banyak dalil pun, mereka sudah paham.

Saya      : “Kalau begitu, tinggalkan saja dia Nona, engkau sudah melangkah jauh di luar koridor syar’i. Mengapa pula harus merasa bersalah kepada Tuan H?”
Nona Z : “Ia menginginkan hubungan kami normal seperti sedia kala. Aku menolak, aku tak mau hubungan yang seperti itu, aku ingin menikah, kalau tidak, ya sudah pisah saja. Ia memilih pisah, karena katanya permintaanku aneh. Sudah berkali-kali pula kuberitahukan padanya, bahwa hubungan ini sudah menjurus ke pacaran, sudahlah hentikan saja. Tetapi, selalu saja berakhir dengan perselisihan”

Saya      : “Sudah berhubungan jauh (mengarah ke pacaran) dengan yang belum beristri saja harom, apalagi dengan yang sudah beristri. Apa Nona tidak merasa bersalah kepada Allah? Kenapa harus merasa bersalah pada Tuan H?”

Nona Z : “Iya, aku gundah karena itu juga, karena telah berbuat yang tidak seharusnya. Karena sedari awal ia bilang serius, tak ku sangka akan seperti ini akhirnya”
Saya      : “Kalau serius kenapa ditunda-tunda dan lama? Wake up Nona! Hampir satu tahun menunggu, itu bukan serius namanya. Itu gombal”
Nona Z : “Itulah yang tak ku mengerti, setelah aku mantap dengannya, ku fikir ia akan segera melamar”
Saya      : “Sudahlah, untuk lelaki gombal level internasional (meminjam istilah Tere Liye) seperti dia, tinggalkan, lupakan, forget him…istighfar dan taubat saja”

Alhamdulillah, Allah berkenan membawa Nona Z kepada jalan kebaikan, saya tetap berharap, ia berada pada jalan koridor syar’i, sebagaimana Allah telah menetapkan. Entah mengapa, sejak semula –sekira setahun lalu- saat ia berkisah tentang Tuan H, saya sudah mulai merasa ada kurang sreg dengan sosok Tuan H. Meski Nona Z secara berulang selalu berkisah tentang bagaimana sosok Tuan H yang cukup perfecto dimatanya. Nanti dulu, kita tidak sedang membicarakan tentang poligaminya, tetapi disini kita berbicara tentang prosesnya. Bedakan antara perselingkuhan dan poligami. Poligami dibolehkan syara’, sedang perselingkuhan adalah perbuatan nista yang diharomkan agama.

Mulanya, saya tidak pernah memikirkan tema ini, melintas saja juga belum. Tetapi, dari beberapa obrolan warung kopi, rupanya perselingkuhan bukan lagi hal tabu untuk dibicarakan, kasus ini telah mewabah mulai dari jajaran pimpinan hingga grass root, masyarakat kelas bawah. Naudzubillahi min dzalik. Rupanya, bukan hanya permasalahan runtuhnya tiang agama –mayoritas muslim disini masih banyak yang tidak menjalankan sholat-, jauhnya mereka dari Al-Quran, penyakit-penyakit jahiliah seperti perselingkuhan, pergaulan bebas, narkoba, juga menjadi momok yang cukup kronis.

“Ini pedalaman lho Bu!, pedalaman!”, saya selalu mengatakan itu sebagai pembelaan.
“Jangan salah Bu, di sini memang pedalaman, tapi kelakuan sudah lebih parah dari perkotaan”, begitu komentar seorang Ibu.

Lalu, apa peduli saya?
Pekerjaan saya sudah cukup menguras energi, lantas apa peduli saya?

Pertanyaan itu cukup menggelitik saya, iya, apakah saya cukup hidup dengan mengurusi masalah saya sendiri, tanpa kemanfaatan?
Bukankah manusia hidup sebagai khalifah, dan masing-masing kita bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuat selama di dunia?
Sia-sia kah? Atau beramal jariyah?

Cukup! Sepertinya saya sudah tidak cukup kuat untuk menanggung amanah baru. Saya butuh waktu berfikir lama sekali –seingat saya kurang lebih 10 bulan lamanya- hingga akhirnya saya memantapkan hati dan niat untuk kembali bergabung bersama-sama, peduli pada kondisi dan realita, serta turut memajukan kualitas perempuan, anak dan keluarga Indonesia. Bersama Persaudaraan Muslimah (Salimah).

Sudahlah, kita tidak bisa memungkiri, sebuah perubahan tidak bisa serta merta terjadi, jika tidak ada upaya di dalamnya. Saya mungkin bisa terus menulis, eksis di dunia maya, punya nama, tetapi apakah gunanya jika itu tak berpengaruh sedikitpun pada dunia nyata?
Pada tetangga-tetangga saya?
Pada masyarakat sekitar saya?
Saya butuh keseimbangan, saya butuh keduanya, saya harus terus menulis untuk kemanfaatan yang lebih luas, dan saya juga harus bekerja, agar ada aksi nyata yang dapat saya lakukan. 

Suasana Pendopo, sebelum acara dimulai

Bukan main! Ketika mengetahui bahwa tawaran untuk amanah baru ini, saya ditunjuk untuk menjadi ketua sebuah organisasi, dengan segala keterbatasan sumber daya manusia, dan juga tentunya dana. Dengan mengucap bismillahirrohmanirrohim, akhirnya, 24 Desember 2013, sembari memperingati hari Ibu, acara pelantikan PD Salimah Kabupaten Tana Tidung sekaligus talk show ‘Ketika Perselingkuhan Mendera’ berhasil diselenggarakan.


Banyak kejadian yang kami –saya bersama jajaran pengurus yang berjumlah 5 orang- alami, seperti saat mengajukan peminjaman kursi di kantor desa. Seorang pegawai desa menyeletuk,
“Undangan buat saya mana? Saya kan termasuk pelaku selingkuh”, saya kira ia hanya sekedar bercanda, eh usut punya usut ternyata memang benar adanya, ia bercerai dengan isterinya lalu menikah dengan kawan sekantornya. Apalagi kalau tidak diawali dari perselingkuhan. 

Acara dibuka oleh Ibu Sekda, Ibu Norningsih sekaligus Ketua DWP Kab Tana Tidung


Alhamdulillah, setelah melewati beberapa proses pencarian tempat, acara akhirnya diadakan di pendopo Kabupaten, acara yang juga di dukung oleh Ibu Sekda ini, juga sekaligus dibuka oleh beliau, sekaligus menjadi saksi pada acara pelantikan pengurus. 


Alhamdulillah, peserta yang hadir mencapai 120 orang

Momen yang menegangkan, saat saya menandatangani SK jabatan.


Belajar dari beberapa kasus yang saya temui, celah perselingkuhan dapat terjadi pada siapa saja, tidak peduli ia yang bergelar ustadz atau tokoh, tidak peduli seberapa paham ia terhadap agamanya, godaan untuk ini selalu ada. Saya juga sempat berdiskusi ringan dengan salah seorang kawan, membahas tentang proses sebuah perkawinan seorang pejabat negeri, yang kisahnya dituliskan berbab-bab, semua orang yang membacanya nampaknya memuji, kagum dan terpana. Tapi, bagi saya tidak, tidak ada yang mengagumkan untuk kisah poligami yang diawali dengan jalinan hubungan yang sangat lama, meski itu berbungkus dengan istilah ‘diskusi pemikiran’.
Tidak! Kita tidak sedang membahas tentang poligami. Kita membahas tentang perselingkuhan. Sekali lagi, poligami dan perselingkuhan adalah dua hal yang berbeda. Kita musti sepakat tentang itu.

Belum lama, di salah satu grup kepenulisan yang saya ikuti, juga sedang ramai membahas ini. Kisah tentang sepasang suami-isteri yang bercerai di usia pernikahan belum cukup satu tahun. Sebabnya? Karena sang isteri sering curhat (sms-an) dengan teman prianya, yang rupanya satu pengajian dengannya –entah jenis pengajian semacam apa yang mereka ikuti-. Wallohua’lam. Saya menyebut kasus demikian sebagai ikhtilat yang kebablasan. Terlebih di era sosial media seperti ini, kita sudah terlalu biasa berbalas sapaan, chatting-chattingan dengan lawan jenis, berhaha-hihi, tanpa kehati-hatian. Meski pada awalnya, mungkin tidak ada niatan sama sekali, mungkin pada awalnya di niatkan untuk amanah pekerjaan dan urusan lainnya.

“Perselingkuhan bukan hanya karena ada niat dari pelakunya, tetapi juga karena ada kesempatan. Tidak satupun orang yang menikah, kemudian berniat untuk berselingkuh”, begitu Ibu SN Diding Rivilla, ketua DPW Salimah Kalimantan Timur sekaligus narasumber pada acara talk show kali ini membuka pokok bahasannya.

Bersahabat dengan seseorang di masa lalu? Eits, tunggu dulu. Apa gunanya?
Ini juga celah yang sangat mungkin terjadi, kita menyebutnya sebagai Celebek atau CLBK, Cinta Lama Belum Kelar, Cinta Lama Bersemi Kembali, atau sejenis itu. Silaturohim memang harus tetap dijaga, tetapi menjalin persahabatan, seerat seperti yang dahulu, mungkin tidak perlu.

Pernikahan adalah sebuah akad mengikat yang sakral, dalam artian bukan untuk senda gurau atau permainan belaka. Siapapun yang telah menjadi jodoh kita, maka itulah yang sepatutnya kita syukuri. 
  • Bagaimanapun pasangan kita, baik rupa, sifat, sikap, semuanya adalah rizqi yang Allah berikan untuk kita. Maka, syukuri. Sifat syukur ini akan menghindarkan diri kita dari angan-angan semu untuk menginginkan sosok yang lebih menurut sudut pandang kita. Sifat syukur ini juga memberikan implementasi positif ke dalam fikiran kita, untuk selalu merasa puas dengan yang sudah ada. Tidak memaksakan perubahan pada pasangan secara frontal, dan lebih banyak memperbaiki diri.
  • Pernikahan adalah penyatuan dua jenis manusia yang berbeda. Butuh kerjasama, kekompakan di dalamnya. Tidak boleh ada yang saling mendominasi. Suami tidak boleh terlalu dominan, sehingga muncul istilah  isteri di bawah ketiak suami. Begitupun dengan isteri, tidak boleh terlalu dominan, agar tidak muncul pula istilah suami-suami takut isteri.
  • Suami dan isteri bertanggung jawab terhadap perannya masing-masing di dalam rumah tangga.
  • Pernikahan adalah proses panjang yang membutuhkan pembelajaran. Karena itu, sebaiknya, baik suami ataupun isteri terus mau belajar. Belajar ilmu pernikahan, termasuk pula belajar ilmu perihal mendidik anak.
  • Cinta suami-isteri harus senantiasa dijaga. Adakalanya, kesibukan mengurus anak-anak, kesibukan terhadap pekerjaan, melunturkan letup-letup cinta. Karenanya, suami dan isteri harus memiliki waktu berduaan, meski sedikit. Rayuan, gombalan, isyarat atau apapun itu, adalah senjata yang perlu di tembakkan setiap saat kepada pasangan.
  • Beri waktu khusus, untuk berduaan, berdua saja, semacam refreshing dan kencan khusus, agar selalu ada waktu untuk memperbaharui cinta.

Riuh, peserta mulai gaduh saat kedua narasumber mengatakan, “sering-seringlah Bu, merayu suami”. Nampaknya, rayuan bukan tradisi yang membumi di kalangan ibu-ibu yang hadir.

“Jangan salah Bu, ibu yang paling berhak merayu suami ibu, bukan orang lain”, begitu ungkap Ustadzah Fifi, narasumber kedua.

“Hanya ada satu penyebab Bu, satu penyebab masalah perselingkuhan ini”, ujarnya dengan berapi-api.

“Kedekatan kita dengan Allah. Perhatikan ketika hubungan kita dengan Allah bermasalah, kita tidak dekat dengan Allah, permasalahan dalam rumah tangga pasti muncul”, lanjut Ustadzah Fifi kemudian.

Ya, inilah poin pentingnya. Kedekatan kita dengan Allah. Ini mungkin dapat menjadi kesimpulan singkat, padat dan ber-nas, soal perselingkuhan ini.

Seperti yang pernah saya tuliskan,
Dalam perjalanannya, pernikahan yang digawangi oleh cinta, juga membutuhkan hati-hati yang bersih, jiwa-jiwa yang mulia. Apapun permasalahannya, jiwa yang senantiasa terasuki nilai-nilai ilahi selalu mampu kembali, selalu berhasil merajut tatanan benang yang kusut, selalu mampu menjadi solusi untuk memperbaiki.
 
Peserta sangat antusias untuk bertanya


Saya rasa, selain kehadiran peserta, keaktifan atau antusiasme peserta untuk terlibat di dalamnya memberi kepuasan tersendiri. Tercatat, enam doorprize yang kami sediakan untuk peserta dengan pertanyaan unik, ludes. Rata-rata adalah curhatan tentang permasalahan yang mereka hadapi. Ada seorang ibu yang curhat tentang anaknya yang berselingkuh, ada curhatan seorang ibu muda, yang suaminya sedang didekati wanita lain, dan macam-macam curhatan jenis selingkuh.


Ini foto bersama, dengan panitia, pengurus DPW (jas ungu), seusai acara.

Ini baru mulai, belum selesai. Masih banyak peer menunggu. Dengan ini, saya hendak berterimakasih kepada kawan-kawan yang bersedia membantu terselenggaranya acara, dukungan secara pribadi yang langsung disampaikan kepada saya, sungguh sangat berarti bagi saya, juga bagi Salimah untuk terus bergerak membangun negeri, dan terus peduli pada peningkatan kualitas perempuan, anak dan keluarga Indonesia. Semoga bisa kembali bertemu dalam aksi nyata Salimah bersama program-program kerjanya, bertemu dalam lingkaran kebaikan yang penuh rohmat dan barokah Allah. Amin ya mujibas sailin..

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



2 komentar

  1. Semangat bu!tulisannya bagus n acaranya jg rame*sayang sekali sy gak ada
    btw semoga semangat ibu tdk pernah padam n terus kan dakwahnya yach
    semoga akan ada lg nurin2 yg lain d ktt......:)

    ReplyDelete
  2. @Hafizah Sophia:Semangat juga Bu,,, :). Terimakasih sudah berkenan singgah ke rumah saya.

    Ha? tidaaaaak! maksudnya ada kloningan saya? seperti alien? hehe...

    ReplyDelete