Fiksi

-132- Pergi dari Kotamu

Thursday, November 21, 2013



Bunyi pintu berdecit,
aku berjalan mengendap-ngendap
ke arah timur matahari
dan bukan barat.

Disana,
dibalik pintu,
aku dapati senyumanmu
di tengah riuh burung pipit,
yang baru saja terjaga
oleh tepukan dedaunan yang melambai
sejuk



Lalu mawar-mawar berduri yang tertata,
saat kau merunduk merapalkan mantra
“aku seperti tertusuk duri”
katamu sembari tersipu menyambut kehadiranku
bahkan langit saja sampai malu,


Dulu katamu,
hanya Tuhan saja yang bisa menguasai fajar
dan yang menentukan dengan siapa awan hendak berkawan

Dulu katamu,
aku bukanlah satu-satunya seseorang
yang kau rindukan di tiap-tiap pagi
sampai petang

dan hujan,
yang basah demi menghantarkan pesan,
aku tak perlu menunggu
langkah yang membawaku
menjauhi kota tinggalmu

hanya untuk meraung sendu
sayang, aku rindu …


November, 2013


________________________________________________
Bismillahirrohmanirrohim,


Saya baru saja usai menyaksikan pameran lukisan dan foto tidak lama setelah menuliskan puisi ini. Entah puisi, entah sajak atau hanya goresan kecil di suatu pagi, saat saya tiba-tiba ingin menutup mata, membayangkan sebuah pagi seperti seorang perempuan sederhana, sibuk memasak, kemudian membuat sajak. ^^.

Ketika menatap beberapa lukisan, saya tersadar, bahwa setiap karya punya tempatnya sendiri, punya cirinya sendiri, dan punya cara tersendiri untuk menyampaikan pesannya. Sebuah pameran yang katanya menampilkan karya-karya pelukis terbaik itupun demikian. Tidak semua lukisan tersebut bisa saya nikmati secara utuh, apalagi untuk beberapa lukisan abstrak yang lebih mirip coretan di dalam bingkai. Saya perlu memaknai judul lukisan tersebut untuk kemudian belajar memahami apa yang hendak disampaikan sang pelukis. Tentu saya tidak paham tentang gradasi warna, tata letak atau apalah lagi itu yang selanjutnya dapat menilai seberapa baik sebuah  lukisan, tapi entah mengapa saya senang saja memandangi lukisan-lukisan tersebut, yang seolah-olah dengan sendirinya bercerita kepada saya. Semua orang bisa menulis, tetapi tidak semua bisa melukis. Kesimpulan saya, seorang pelukis memiliki nilai tambah tersendiri dibanding penulis. Atau dengan kesimpulan yang lebih adil, masing-masing hidup dengan kelebihannya tersendiri. 

Selain lukisan, beberapa foto dengan objek yang biasa saja, juga dapat membuat saya menaruh perhatian penuh kepadanya. Mungkin karena foto-foto tersebut membuat saya banyak berfikir, "ini apa maksudnya ya?", "mengapa mengambil dari sisi ini ya?" di luar dari pertanyaan-pertanyaan teoritis tentang ilmu fotografi, cara pengambilan gambar, pemilihan objek dan lain-lain yang kesemuanya belum tentu dapat saya fahami. 

Satu hal penting yang saya dapatkan sepulang dari pameran adalah, bahwa setiap mereka yang punya karya harus memiliki keberanian. Keberanian untuk menuangkan segala pemikirannya, kehendaknya ataupun juga tujuannya tanpa harus ambil pusing apakah karya-karyanya mendapatkan apresiasi atau karya-karyanya dapat dimengerti. Dimanapun, setiap karya punya tempatnya tersendiri, dan punya penikmat tersendiri. 

Barangkali, itu juga yang akhirnya saya pelajari saat membuat goresan kecil ini.

Sepertinya saya memang harus banyak belajar lagi...






You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



0 komentar