Cinta

-127- Sereal Patah Hati

Wednesday, September 25, 2013

Credit:  google.com


Bismillahirrohmanirrohim,, 

-----------------------------------------------------
Aku tak bisa luluhkan hatimu
Dan aku tak bisa menyentuh cintamu
Seiring jejak kakiku bergetar
Aku tlah terpaku oleh cintamu
Menelusup hariku dengan harapan
Namun kau masih terdiam membisu

------
“Huuu…… “, penonton bersorak, teman-teman Aman yang usil nan jahil. Riuh, setelah sukses mendorong Aman untuk tampil, persembahan dari ex-IPA 2 katanya.
“Menyebalkan!”, Aman hanya bisa bersungut dalam hati, sebal. Tapi tetap saja, dengan sangat terpaksa, mengambil mikrofon, menyumbangkan sepatah dua patah, “aduhai, mengapa pula, Juna dengan sengaja memilihkan lagu ‘Menanti Sebuah Jawaban’ ini?”


Sepenuhnya aku...ingin memelukmu
Mendekap penuh harapan...
tuk mencintaimu
Setulusnya aku...
akan terus menunggu
Menanti sebuah jawaban tuk memilikimu

“Huuu…… “, penonton sekali lagi bersorak, bertepuk tangan. Tentu saja, karena suara Aman yang merdu nan menawan, mengalahkan suara penyanyi aslinya. Dua orang pengantin di kursi singgasana nampak terpukau, sesekali melempar tawa, saat Aman lupa sebait-dua bait. Bukan karena lupa lirik, Aman memang penyanyi panggung, dia hafal ribuan lirik, apatah lagi hanya sekedar menyanyikan lagu lawas model begini. Tetapi, ada nyinyir yang tersembunyi dari balik kedua matanya, ada sebongkah –mungkin berbongkah-bongkah air mata yang tertahan. Sementara yang lain terbahak-bahak, larut dalam nyanyian pesta, hanya Juna yang berdiri hening, menatap Aman dengan wajah haru, memelas.  

Di hari itu, tanyanya mencuat, pada siapa? Aman tak pernah tahu. Seperti juga pertanyaan-pertanyaannya sebelumnya. Pertanyaan yang sama, ketika ia menatap langit biru dengan hati yang kelabu. Saat itu, ada satu senyuman manis yang sedang mengganggu malam-malamnya, ia sedang jatuh cinta, maka disusunlah kata-kata. Khas sebagaimana watak pemuda timur kebanyakan yang berani, --moyangnya saja berjuluk 'Ayam Jantan dari Timur', maka untuk urusan seperti ini, mudah saja baginya-- maka di hari itu pula, ia datang, dengan degup jantung turun-naik, melamar seorang gadis, sambil menggulung lipatan kain baju, takut-cemas-harap beradu jadi satu.

Bukannya saya tidak ingin menerima Kakak, tetapi saat ini, saya belum dapat memberikan jawab apapun. Sebab, saya masih ingin menyelesaikan pendidikan. Mungkin, jika Kakak menanyakan hal yang sama, dua tahun lagi, saat kelulusan, saya bisa memberikan jawab”

Aman, seorang pemuda dari timur. Berperawakan tinggi besar, berwajah putih, cakap dan cekatan. Ia, pemuda baik itu, kemudian mulai sibuk merajut mimpi-mimpinya yang lain. Pergi ke negeri seberang, mengumpulkan uang, mempelajari banyak ilmu baru. Tetapi, niatan baiknya untuk menjemput sang bidadari, tidak pernah ia urungkan. Maka, dalam setiap doa panjang malamnya, ia selipkan satu doa, satu harapan, satu impian, bersanding dengan sang bidadari, menyempurnakan hidupnya, di dunia, lalu bergandeng tangan, hingga hari kemudian.

Tanpa terasa, waktu itupun tiba, genap dua tahun sudah, di hari kelulusan. Dengan berbinar, disiapkanlah hatinya, kini ia pun sudah berpangkat, berpenghasilan tetap. Tetapi sayang, hari itu, sang penguasa langit berkehendak lain. Takdir telah ditetapkan, telah ditulis, jauh sebelum ia datang kembali, hendak mengajukan lamaran. Ia terlambat, satu hari. Penantiannya selama dua tahun, ditentukan hanya dalam waktu satu hari. Sang gadis, telah menerima pinangan lelaki lain. Satu hari, di hari ketika Aman tengah sibuk berbelanja, mempersiapkan buah tangan yang pantas dibawa. Hanya satu hari, dan lagi, ternyata sang pelamar, lelaki yang tak lagi asing baginya, tetangga di kampungnya sendiri, teman mainnya sewaktu kecil, teman satu kelasnya. Mengapa dunia ini begitu sempit? hingga akhirnya, ia pula harus ikut kepanitiaan membantu tetangganya ini hajatan, melangsungkan resepsi pernikahan kedua (ditempat sang pengantin laki-laki). Bolak-balik mengambil piring kotor, lalu lalang di hadapan Raisya. Pedihnya!. 

--------------------------------------------------------------------------------------

“Jadi Mbak, pernah punya pengalaman indah di masa lalu?”
Saya tahu, itu bahasa sarkasme, hanya dengan melihat tatapannya yang selidik, penuh curiga.
“Maksudnya, patah hati?”, saya langsung menodong.
Yeah… something like that, emm… mungkin…”, jawabnya agak takut.
“Iya pernahlah, saya kan manusia…”, saya menjawabnya dengan tegas, tapi agaknya cukup mampu merenyahkan suasana, serta meluluhkan dugaannya, bahwa saya akan tersinggung dengan pertanyaannya. 
“Hah, ternyata setiap orang pernah punya kisah di masa lalu ya…”, ia menarik napas, lega,
 mendapatkan teman.

 “Kau tahu, Borno. Perasaan adalah
perasaan, meski secuil, walau setitik hitam di tengah lapangan putih luas, dia bisa membuat seluruh tubuh jadi sakit, kehilangan selera makan, kehilangan semangat. Hebat sekali benda bernama perasaan itu. Dia bisa membuat harimu berubah cerah dalam sekejap padahal dunia sedang mendung, dan di kejap berikutnya mengubah harimu jadi buram padahal dunia sedang terang benderang.” (Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah; Tere Liye)
Dengan sengaja, saya menandai bagian ini, tepat di kalimat nasihat Pak Tua ini, halaman 132, kalimatnya biasa, tetapi mengena.

Oh ya, kembali ke kisah Aman. Di kejap berikutnya, harinya menjadi buram padahal dunia sedang terang benderang. Setelah acara resepsi, entah karena kelelahan atau juga karena pikirannya yang ruwet dan kusut, Aman tumbang. Rupanya, ia terkena penyakit cinta tujuh turunan. Seperti halnya Zainab dan Hamid di Bawah Lindungan Kakbah, atau Hayati dan Zainudin di Tenggelamnya Van Der Wijk. Mukanya tiba-tiba pucat, badannya menggigil, dingin. Tak ada makanan yang bisa masuk ke mulutnya, nasi bagai duri, remah roti bagai biji, tiap-tiap ada makanan yang dicoba ditelannya, perutnya melilit, kesakitan, kemudian dimuntahkan kembali. Bukan sehari-dua hari, Aman sakit, berhari-hari. 

"Ah, rupanya beginilah rasanya penyakit menyakitkan kedua setelah sakit gigi. Penyakit cinta tujuh turunan", Aman  membatin. Badannya semakin kurus, kering. Kini ia sedang berada di dalam kamar sendirian, berselimut tumpuk-tumpuk, masih kedinginan. Pikirannya menerawang, mulai membayangkan yang tidak-tidak, kematian. 

"Akankah sejarah akan mencatat namaku sebagai 'Majnun KW' atau 'Majnun Kedua' setelah Qois yang teramat menggilai Laila?", Aman mulai menceracau. 

"Ataukah aku hanya akan mati sia-sia, dalam penantian tak berkesudahan, tanpa dikenang sebagai siapa-siapa?", aih, betapa ruginya.

Tapi entahlah, rupanya, di penghujung kehidupannya itu, mungkin juga di detik-detik menuju kematiannya, entah karena hembusan angin, atau karena terlampau tak berdayanya, seketika itu, Aman mengingat Tuhan. Di saat itulah, ia baru tersadarkan, bahwa ia membutuhkan Tuhan, untuk bercerita, menumpahkan perasaan. Maka, malamnya, di saat nafasnya tinggal satu-satu, badannya ringkih, seperti ikan yang tinggal belulang, demi mendengar tangisannya yang pilu nan menyedihkan, berkumpullah semua anggota keluarga, berkerumun, takut-takut itu malam terakhir pertemuan. Sedih, duka, menjadi satu, apalagi mendengarkan permintaan maaf Aman kepada sanak saudara, lebih-lebih kepada ibunya, sang perempuan tangguh.



Tidak ada yang tahu, hal apa yang dibisikkan seorang perempuan tangguh itu di malam menyesakkan penuh airmata kala itu. Mungkin rapalan doa, mungkin sebaris motivasi, mungkin sederet kata cinta, tetapi nyatanya, setelah itu, wajah Aman berubah. Wajahnya bersinar, berangsur menjadi cerah. Esoknya, kondisi Aman semakin baik, meski belum pulih benar. Takdir berkehendak lain, sebuah garis takdir mungkin telah ditetapkan. Kondisi Aman semakin baik, dan beberapa hari kemudian, ia benar-benar sehat, ia benar-benar kembali, ceria seperti dahulu lagi.

Tetapi, hal menyakitkan itu, belum sembuh benar, belum benar-benar lenyap dari ingatannya. Ingin kembali ke negeri seberang, tempatnya bekerja dahulu, rasa-rasanya ia tak lagi punya minat. Menulis, --ah ya, Aman memang seorang penulis--, tak ada lagi gairah untuk menulis. Titik balik, Aman memutuskan untuk mengembara, kedengarannya sudah seperti para pendekar saja. Berbekal restu sang perempuan tangguh, ibunya, ia memulai perjalanannya melihat negeri-negeri yang lain. Keberuntungan mendatanginya, satu persatu, hingga akhirnya, membawanya ke negeri yang belum sekalipun masuk dalam daftar mimpinya, Eropa. Dua tahun berselang, bertemu pulalah ia dengan seorang gadis, yang dengan atas izin penguasa langit, meminangnya lebih dahulu.
"Amboi, asyiknya...", ledek Juna, saat Aman bercerita padanya tentang seorang gadis pemberani ini.

Titik balik. Amanpun melangsungkan pernikahan. Aman perlahan bangkit, kesedihannya yang dahulu, selain membuatnya semakin dekat dengan sang Malik, Allah, membuatnya kembali memungut penanya. Ia mulai menulis, meliukkan deret kalimat-kalimat puitis. Dahulu, kawan-kawan sekolahnya menjulukinya 'Hamka Kecil', sebab perkataannya yang menyihir, mengalun indah seirama dengan tulisan-tulisannya, kini mungkin ia pantas disebut sebagai 'Hamka Kecil yang Kembali'.

Titik balik. Peristiwa patah hati, dimasa lalunya, membuat Aman memiliki definisi cintanya sendiri, baginya cinta yang abstrak itu, ternyata haruslah juga berlogika. Dari peristiwa itu, Aman mulai dapat menghargai sebuah perasaan, memperlakukan cinta dengan baik. Dan yang paling penting, membuat sejarah cintanya sendiri.

----------------------------------------------------------------------------------------------
Titik balik. Ah ya, saya juga pernah patah hati. Pastilah, sebagaimana manusia normal umumnya. Saya juga pernah kecewa, patah arang, sedih, ataupun marah. Jadi, saya anggap, pertanyaan itu sama lucunya dengan pertanyaannya sebelumnya,

"Mbak pernah marah?"

He... tentu saja, saya pernah marah. Sekali lagi, karena saya manusia. Meskipun, kami urung membahas tentang cerita indah di masa lalu itu, kami lebih asyik berkisah tentang cinta yang kini, cinta yang lebih seru, cinta yang sedang tumbuh. Tetapi karenanya, saya jadi mengingat kisah Aman (bukan nama sebenarnya), yang tentu saja, sudah saya tambal disana-sini --bisa mencak-mencak nanti kalau Aman tahu saya menceritakan kisahnya secara lurus-lurus saja.

Tentang Raisya, sayang sekali Aman tidak tahu suatu hal. Bahwa hari itu, adalah titik balik bagi Raisya. Hari itu, ia memutuskan menerima pinangan seorang lelaki berani, setelah masa empat tahun penantian. Ia menanti seorang lelaki lain -di luar sana- yang diam-diam ia sukai. Yang tak pernah memberikan kejelasan, hanya pesan singkat sesaat sebelum tak pernah lagi berjumpa,
"Jangan cepat-cepat nikah ya...", entah dengan maksud apa, menggantungkan harapan, entah kapan ia akan datang kembali. Mengapa pula tak mengatakan secara jelas, tunggu aku lima tahun lagi, atau sekalian saja, tunggu aku sepuluh tahun lagi. Mungkin dengan begitu, Raisya bisa tahu, dan bisa menunggu dengan pasti. Sebuah Roda kehidupan yang membingungkan, Aman menanti Raisya, Raisya menanti lelaki lain, lalu berakhir dengan jalan yang lain. Namun demikian, masing-masing memiliki kisah yang bermuara pada Sang Khalik, Allah. Raisya menjadikan titik baliknya, sebagai jalan untuk belajar menjadi seorang isteri sholehah, ia mulai belajar untuk tidak menggantungkan harap kepada manusia, lagipula untuk apa? tidak ada gunanya. Aman menjadikan titik baliknya, sebagai jalan untuk menjadi pribadi yang bermanfaat. Mulai mengembangkan bakatnya, mulai menulis lagi. Dan tentu saja, berbagi kisah, dan membuat sejarah cintanya sendiri.

Titik balik. Kita dapat menjadikan setiap kepahitan menjadi buah ranum nan manis, yang siap dipetik, jika mampu bersabar dan bangkit. Hai! ada banyak romantisme cinta di jagat ini, dan juga ada banyak kisah pilu patah hati yang dialami banyak manusia. Tidak ada yang sendirian, tidak ada yang paling menyedihkan. Semua hal berjalan alamiah, berpasangan. Jatuh cinta-melambung-patah hati-tersungkur-, begitu berulang. Ada banyak kisah, banyak kejadian, tetapi jangan lupa, tentang takdir hidup yang bisa jadi ada di genggaman, jangan lupakan! masih banyak hal indah di luar sana!.




You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



2 komentar

  1. Aduh.. alur dan penuturannya asik sekali... saya kalau menulis kisah panjang akan seperti rute belanja ibu-ibu pemburu harga murah di pasar... kesana kemari dulu gak jelas arahnya :D

    ReplyDelete
  2. iya Mbak, gak papa muter2 dulu yang penting belanjaannya dapet banyak akhirnya. hehe :)

    ReplyDelete