Cinta

-104- Bekerja Atau Ibu Rumah Tangga?

Thursday, February 21, 2013

Sumber gambar: http://www.soniazone.wordpress.com/

Bismillahirrohmanirrohim.

Bersosialisasi merupakan kebutuhan setiap manusia sebagai makhluk sosial. Apalagi, ketika kita hidup bertetangga. Tetangga-tetangga kami, rata-rata pegawai. Bertemu pagi saat hendak berangkat ke kantor, bertemu sebentar siang saat makan siang, bertemu sore sepulang dari kantor. Butuh waktu beberapa hari untuk sekedar saling sapa, maklum, di pagi hari, masing-masing bergegas berangkat ke kantor, sore hari, masing-masing sudah sama-sama lelah. Hari libur, biasanya setiap keluarga memiliki acara sendiri-sendiri. Lagipula, kebanyakan tetangga adalah pendatang dari kabupaten lain, di hari libur, biasanya mereka pulang ke rumahnya untuk berkumpul bersama keluarga. 

Tetapi, dalam beberapa kesempatan, kamipun sempat berkenalan dan berbincang. Sebut saja ada Mbak Wati, Mbak Erna dan Mbak Santi. Kami semua, berstatus PNS dan sama-sama berstatus kontaktor (pengontrak rumah).

Ibu Wati sepanjang pengamatan saya, adalah ibu dengan satu orang anak berumur lima tahun. Setiap akhir pekan saya tidak pernah melihatnya berada di rumah.

"Geri akhir-akhir ini gak kelihatan Mbak? tiap jumat Mbak berangkat kemana?" tanya saya pada Mbak Wati. 
"Iya, saya titipkan sama keluarga di Tarakan. Jadi ya, tiap minggu saya pulang ke Tarakan". Lumayan, biaya yang harus dikeluarkan dalam satu bulan untuk bolak-balik PP, sekitar 1,3 juta.
"Suami?"
"Suami kerja di luar Mbak", maksudnya di luar daerah. 
"Ohh..."
Mbak Erna yang sedang sibuk menimang bayinya yang berumur empat bulan, juga tak pernah terlihat bersama suaminya, membuat saya pun penasaran untuk bertanya,
"Mbak Erna suaminya dimana?"
"Suami saya kerja di perusahaan xxx (salah satu perusahaan konstruksi terkemuka) di Samarinda Mbak, ini baru masuk kerja, belum bisa dapat cuti, kalau sudah satu tahun baru bisa cuti", yah mungkin bulan-bulan Agustus lah baru bisa ketemu lagi"
Sejenak, saya terdiam. Jadi, selama ini Mbak Erna yang selalu membawa serta bayinya ke kantor, bolak-balik sendiri, ternyata karena sedang LDR dengan suaminya.
"Ini anak saya yang kedua lho Mbak", lanjut Mbak Erna kemudian.
"Lah, anak Mbak pertama ikut siapa?"
"Ikut sama Mbahnya di Bunyu (salah satu kecamatan di Kab. Bulungan)"
Beruntung sekali, di tempat ini, beberapa instansi memiliki toleransi dan kebijakan yang sangat mendukung anak, jadi Mbak Erna masih bisa membawa bayinya ke kantor, setiap hari, sehingga asupan ASI terpenuhi. 

Mbak Santi, lain lagi. Perempuan yang tengah hamil tua ini memang jarang terlihat, pulangnya selalu sore hari, menjelang maghrib. 
"Di kantor saya memang setiap hari pulangnya paling cepat jam 5 Mbak...".
Saling mengenal, saling berbagi, dan terakhir, saling melempar senyuman,
"Yah, beginilah suka-duka wanita bekerja"
Perempuan, selalu menarik, dalam hal apapun. Termasuk membicarakan tentang kodratnya sebagai seorang isteri sekaligus ibu. Perbincangan mengenai bekerja atau menjadi ibu rumah tangga selalu menjadi isu 'hot'  yang tak kunjung habis. Sebab, masing-masing peran, entah sebagai wanita bekerja atau irt, memiliki ruang 'dilema'nya masing-masing. Saya jadi teringat, sebuah adegan di sinetron, saat seorang mertua meminta menantu perempuannya berhenti bekerja. 
"Saya masih bingung Bu, kalau saya tidak bekerja, saya ngapain ya di rumah?"
"Ya banyak, kamu bisa shopphing, perawatan di salon, memasak untuk suamimu, dan mengurus rumah" 
Dua kata dalam adegan tersebut sengaja saya beri warna biru. Saya sempat tersenyum saat mendengar dialog ini, bersenang-senang, bersantai apalagi bisa perawatan dan shopping, itu semua dambaan setiap wanita. Tetapi, hakikat dalam tulisan ini tidak menuju kesana. Kita akan berbicara tentang ruang 'dilema' yang senantiasa digundahkan oleh perempuan-perempuan, termasuk saya. 

Menurut saya, secara kodrati, seorang ibu pekerja atau ibu rumah tangga, kedua status tersebut tidak dapat dipilah-pilah, keduanya menyatu. Seorang ibu yang bekerja (dalam rangka mencari nafkah) juga tetap mengurus rumah. Kita telah banyak menyaksikan ibu-ibu pekerja yang begitu cekatan mengurus keluarganya, bangun pagi-pagi, membuatkan sarapan, mengurus cucian dan banyak lagi. Sebaliknya, seorang ibu rumah tangga, jelas ia juga seorang yang bekerja. Seorang ibu rumah tangga, bahkan tidak memiliki waktu untuk berhenti, di sepanjang harinya, pekerjaannya di rumah, senantiasa bertambah dan menanti.

Kalau begitu, apa yang membuat ruang 'dilema' itu muncul? dilema itu muncul, saat perbincangan mengarah kepada pemenuhan pendidikan dan hak anak. Seorang ibu yang bekerja, dihadapkan pada persoalan bagaimana mengasuh anak, memenuhi ASInya, dan lebih dari itu, memenuhi kebutuhan aspek psikologisnya. Oleh karena itu, banyak wanita bekerja yang pada akhirnya memutuskan untuk berhenti. Tetapi, permasalahannya, mungkin tidak hanya sampai disitu, sebab kenyataannya mendidik anak bukanlah persoalah mudah sehari selesai. Atau sekedar berdebat panjang tentang status sang ibu, tetap bekerja atau menjadi ibu rumahan saja. Maka, sekedar berbagi pemikiran saja, mungkin ada baiknya kita merenungkan kembali hal-hal berikut ini:

1. Untuk Apa Saya Bekerja?

Islam sangat memuliakan kedudukan wanita, hingga dengan terang benderang menyatakan bahwa kewajiban mencari nafkah diberikan kepada suami. Tetapi, dewasa ini, seorang isteri pun banyak yang turut ikut bekerja (mencari nafkah) dengan beragam alasan. Jika pun demikian, maka coba fikirkan baik-baik, dengan alasan apa kita harus bekerja (mencari nafkah) membantu suami. Baik bekerja maupun di rumah saja, masing-masing memiliki kebaikan. Dengan bekerja, selain mandiri secara finansial, membantu keuangan di rumah, memiliki banyak relasi, mengenal dunia luar, menjadi seorang profesional dan banyak lagi. 

Tetapi, tidak perlu khawatir, jika pilihan itu jatuh, untuk menjadi ibu rumah tangga. Banyak kebaikan juga tersimpan disana, kebersamaan bersama anak, waktu yang banyak untuk mengurus dan melayani keluarga, lalu banyak lagi. Menjadi seorang ibu rumah tangga juga tidak serta merta membuat kita tidak mandiri secara finansial. Seorang IRT juga bisa mandiri secara finansial tanpa harus kehilangan momen berharga bersama anak-anak dan keluarga. Membuka warung/toko, mengajar privat di rumah, berjualan di dunia maya, menulis, hanyalah satu dari sekian banyak pilihan yang bisa dipilih. Seorang IRT juga bisa memiliki banyak relasi dan dunia luar, saat bisnis rumahannya bertambah maju, ikut aktif berperan dalam perkumpulan ibu-ibu semisal arisan, pengajian, PKK, Posyandu atau banyak lagi. 

2. Air Susu Ibu atau Air Susu Sapi?

Jika saya ditanya, apa yang hendak saya lakukan jika saya bukan lagi seorang pegawai? barangkali, saya akan membuka sekolah, untuk anak-anak saya dan banyak anak lagi di luar sana. Membuka daycare, tempat penitipan anak atau semacam itu, bayangan yang sempurna dibenak saya. Lalu, saya akan benar-benar berfokus untuk menulis, mungkin bisnis di bidang penerbitan buku atau semacam itu, cocok buat saya. Aha, sekalian saja membuka toko buku, atau warung kelontongan sederhana juga tak apa.

Bukan bermaksud mendiskreditkan seorang pegawai atau karyawan, bukan begitu. Tetapi, saya hanya ingin mengajak kita semua, untuk memiliki rencana. Jika pun tetap ingin bekerja, jadilah pengusahanya. Jadilah pemilik waktunya. Bagi yang telah memutuskan untuk berhenti bekerja, jangan khawatir, anda masih bisa memikirkan pekerjaan apa yang tepat sebagai seorang irt yang mandiri. Pakailah modal yang telah anda himpun selama bekerja, untuk membuka usaha kecil-kecilan, atau sekalian saja usaha besar jika memang modalnya besar. Bagi ibu-ibu yang bekerja full sebagai ibu rumah tangga, yang saat ini tengah kerepotan mengurus si kecil atau sibuk dengan banyaknya anak-anak, sehingga belum bisa merealisasikan keinginan untuk mandiri secara finansial. Berfokus saja dulu mengurus keluarga (jika semua kebutuhan telah terpenuhi oleh suami), kemudian bergabunglah dengan komunitas yang membangun. Olah setiap kreativitas yang dimiliki untuk dikembangkan.

Bagi yang tetap bekerja (mencari nafkah) atau apapun alasan yang mendasarinya. Ibu-ibu yang menjadikan profesinya sebagai ladang amal. Guru, perawat, dokter, dosen atau pegawai pemerintahan atau semacam itu, jika memang kesempatan, kemampuan dan keadaan memang mendudukkan kita berada disana, jalani dan syukuri. Resiko selalu ada, baik sedang bekerja atau dirumah saja.

Saya membaca status seorang ibu pekerja yang hari ini sedang kelabakan, karena hendak dinas luar, dengan catatan tidak diperkenankan membawa anak. Padahal, anaknya masih berumur bulan. Gundah gulana si ibu tentu pernah juga dirasakan oleh ibu-ibu pekerja kantoran yang lain. Saya jadi teringat status saya beberapa bulan lalu, tentang cuti melahirkan di negara kita yang hanya tiga bulan. Sementara di negara-negara lain telah lebih bijak dengan memberikan jangka cuti yang lebih panjang, untuk memenuhi kebutuhan bayi akan ASI. Tetapi, banyak juga tanggapan yang tidak sependapat dengan itu (maksud saya, jika negara kita juga ikut menerapkan cuti lebih dari tiga bulan), dan ucapan itu terlontar pula dari seorang perempuan. Maka, jangan heran jika beberapa peraturan yang dibuat terkadang tidak menguntungkan bagi ibu, yang akhirnya berujung pada tidak terpenuhinya hak anak.

Tetapi, para ibu di tahun 2012 lalu, begitu berbahagia dan berbunga-bunga setelah muncul PP ASI yang baru. Dan bagi saya secara pribadi, hal ini sangat baik dan membuat peraturan cuti melahirkan pegawai menjadi berimbang. Dalam Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 2012 Tentang ASI dimana dengan jelas menguraikan tentang tanggung jawab pemerintah tentang pencapaian program pemberian ASI Eksklusif yang tertuang dalam Pasal 3, 4 dan 5:
Pemerintah bertanggung jawab membina, mengawasi, serta mengevaluasi pelaksanaan dan pencapaian program pemberian ASI Eksklusif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, satuan pendidikan kesehatan, Tempat Kerja, tempat sarana umum, dan kegiatan di masyarakat.
Maka, seharusnya tidak boleh ada pelarangan saat seorang ibu membawa bayi ke tempat kerja, meski hal ini nampaknya masih begitu tabu dan berlawanan dengan mainstream yang telah melekat di masyarakat. Sehingga tidak perlu lagi, ada ibu-ibu yang harus bercucuran airmata saat harus berangkat bekerja.

Pasal 30
(1) Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum harus mendukung program ASI Eksklusif.
(2) Ketentuan mengenai dukungan program ASI Eksklusif di Tempat Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perusahaan antara pengusaha dan pekerja/buruh, atau melalui perjanjian kerja bersama antara serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha.
(3) Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum harus menyediakan fasilitas khusus untuk menyusui dan/atau memerah ASI sesuai dengan kondisi kemampuan perusahaan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan fasilitas khusus menyusui dan/atau memerah ASI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 31
Tempat Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 terdiri atas:
a. perusahaan; dan
b. perkantoran milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan swasta.
Pasal 32
Tempat sarana umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 terdiri atas:
a. Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
b. hotel dan penginapan;
c. tempat rekreasi;
d. terminal angkutan darat;
e. stasiun kereta api;
f. bandar udara;
g. pelabuhan laut;
h. pusat-pusat perbelanjaan;
i. gedung olahraga;
j. lokasi penampungan pengungsi; dan
k. tempat sarana umum lainnya.
Pasal 34
Pengurus Tempat Kerja wajib memberikan kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan ASI Eksklusif kepada Bayi atau memerah ASI selama waktu kerja di Tempat Kerja.
Pasal 35 
Pengurus Tempat Kerja dan penyelenggara tempat sarana umum wajib membuat peraturan internal yang mendukung keberhasilan program pemberian ASI Eksklusif.
Jika membaca cuplikan dari PP tersebut, maka jelas bahwa seharusnya tempat kerja wajib memberikan fasilitas tempat menyusui, wajib memberi kesempatan memberikan ASI Eks saat jam kerja, mendukung tercapainya program ASI Eksklusif.
Pasal 36
Setiap pengurus Tempat Kerja dan/atau penyelenggara tempat sarana umum yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (3), atau Pasal 34, dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagi ibu-ibu pekerja yang dilema terhadap peraturan yang membelenggu seperti kasus yang dihadapi sang Ibu yang hendak dinas luar tadi, secara hukum dapat mengajukan keberatan, gugatan atau semacamnya berdasarkan PP ini, yang dikuatkan dalam pasal 36.

Butuh perjuangan untuk dapat merealisasikan peraturan Tuhan. Saya katakan demikian, sebab peraturan menyusui ini sendiri sudah jelas-jelas tertuang dalam Al-Quran. Tetapi, syukurlah jika pemerintah kita telah cukup peduli dengan membuat Peraturan Pemerintah. Dengan begitu, saat terjadi ketidaksepahaman, ibu pekerja masih dapat berkilah dengan payung hukum negara.

Tentang ASI inilah adalah ruang 'dilema' bagi ibu pekerja, melahirkan keresahan yang begitu dalam tentang pilihan, bekerja atau ibu rumah tangga?

3. Pria Sukses dan Wanita Beruntung

Pria Sukses adalah pria yang bisa menjadi kaya raya
Wanita Beruntung adalah wanita yang bisa mendapatkan pria tersebut.

Itu kutipan salah seorang sahabat saya di wall facebooknya. Saya agak merubah kalimat redaksinya. Tetapi, begitulah seharusnya. Maksud saya, seharusnya kita memang kaya. Barangkali, itulah tugas kita, untuk menanamkan kemandirian dan keharusan menjadi kaya kepada anak-anak kita. Sehingga mungkin, suatu saat, sebagai wanita, tidak perlu lagi kita bersusah-susah, berkeringat, berjelaga, dalam bekerja agar asap dapur tetap mengepul. Cukuplah kita, menjadi wanita anggun, bersenang-senang dengan segala macam perawatan, shopping dan salon, seperti pesan dalam sinetron. (Jangan dianggap serius, kalimat di bagian ini hanya guyon-guyon saya saja).

Setelah itu, banyak-banyaklah membaca buku, belajar ilmu, bagaimana Allah mengatur untuk memperlakukan wanita, dan bagaimana Ia juga mengatur bagaimana berlaku sebagai seorang wanita.

Kalimat penutupnya, jadi, bekerja atau ibu rumah tangga? 
Bagi saya, keduanya tidak ada bedanya, sama-sama hebat dan memiliki sisi baik.
Jadi tidak perlu ada dikotomi atau membanding-bandingkan kondisi keduanya, baik yang saat ini berstatus ibu pekerja maupun ibu rumah tangga.

Keduanya sama hebatnya!!


Wallohu a'lam bish showab, 
Semoga bermanfaat dan mencerahkan!

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



0 komentar