Karya

-102- Teror Dua Tangan Penengadah

Wednesday, February 13, 2013

              Setelah menikah, saya dan suami ditugaskan di BPS (Badan Pusat Statistik) Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur. Hal pertama yang cukup mengganggu adalah mencari tempat hunian. Maklum, kala itu honor kami selama lima bulan belum dibayarkan. Maka, dengan berbekal uang pinjaman, kami bersepakat mencari hunian sementara dengan harga paling terjangkau. Setelah satu minggu berkeliling, pilihan kami jatuh pada sebuah rumah couple panggung terbuat dari kayu di pinggiran sungai Kayan. Meski terletak di dalam sebuah gang sempit padat hunian, saya merasa senang bisa melihat hamparan indah sungai Kayan setiap saat sampai puas, tempat ini juga pas untuk memenuhi hasrat hobi Kak (suami saya) yang gemar memancing. 

            Sebagai orang baru, bersilaturrohim dengan tetangga adalah hal wajib nomor satu yang harus kami lakukan. Tetangga sebelah saya yang masih satu bangunan, adalah anak pemilik kontrakan. Sama seperti kami, mereka adalah pasangan muda yang baru memiliki satu anak. Di depan rumah kami, adalah tempat hunian sekaligus salon rias pengantin, di sebelah kanannya lagi saya biasa menyebutnya ‘Ibu Dangdut’. Ibu Dangdut berasal dari Sulawesi ini suka sekali memutar musik dangdut keras-keras, tidak peduli pagi-siang-sore-malam. Sampai bludrek rasanya telinga. Apalagi, saat maghrib tiba. Saat adzan berkumandang, eh, Ibu Dangdut malah  asyik berkarauke ria. Dan dibelakang kami, seorang nenek tinggal bersama anak dan cucunya. Sang nenek adalah buruh pencuci pakaian, anak laki-lakinya seorang pengangguran, sedang satu dari tiga cucunya masih bersekolah.


Beberapa bulan menjelang, desas-desus mulai ramai di kalangan ibu-ibu gang, 

“Hati-hati Mbak, sama tetangga belakang, emang dia hobinya minta tolong. Yang minta gulalah, minta bumbulah, kemarin aja dia ngutang sama keluarganya Ibu Dangdut 200 ribu, eh gak dibayar-bayar. Emang gitu tuh, orang belakang tabiatnya…”
Huft, aduh biasa deh ibu-ibu gang, jangankan di gang sempit yang rumahnya dempet-dempet seperti ini. Di hunian komplek saja, kebiasaan saling membicarakan aib tetangga sudah lumrah adanya. Seperti kejadian saat saya sedang sakit hebat beberapa minggu lalu, saya muntah-muntah hampir tiap pagi. Tidak berselang lama, Seorang ibu nun jauh di ujung gang sana, tergopoh-gopoh mendatangi rumah saya membawa seikat mangga muda. 

“Mbak, saya denger-denger Mbak lagi ngidam, ini saya bawakan mangga muda”
He? perasaan saya gak pernah koar-koar apapun. Masak iya, muntah-muntah saya sampai terdengar di ujung gang sana. Tuh kan, jadinya salah informasi. Saya disangka sedang hamil oleh orang-orang satu gang. Karena itu, setiap informasi yang saya peroleh dari ibu-ibu tidak lantas saya telan bulat-bulat semua. Sampai suatu pagi, nenek tua dari tetangga belakang dengan wajah memelas bertamu ke rumah kami,

“Minta tolong Bu, keluarga saya sakit kasian…, sekarang ada di Tarakan, saya mau kesana tapi gak ada uang. Saya mau pinjam uang dulu Bu, nanti saya ganti”
Melihat roman wajah, dan kondisi sang Nenek yang memprihatinkan, waktu itu kami percaya saja dan akhirnya memberikan pinjaman sebesar biaya speed boat ke Tarakan. 

Selang beberapa bulan, sang Nenek yang selalu melewati rumah saya, bersikap aneh dan seolah menghindar dari kami. Setiap bertemu saya atau Kak, seperti orang yang bertemu penagih hutang, padahal kami diam-diam saja.

“Barangkali Nenek memang benar-benar tidak bisa membayar hutangnya", batin kami dalam hati
Tidak berselang lama, di rumah nenek sedang kedukaan. Salah seorang anggota keluarga mereka meninggal dunia. Kami datang membantu dan menyumbang bahan makanan untuk keperluan nenek. Waktu itu, salah satu keluarga nenek datang meminta tolong kembali, katanya butuh dana untuk mengurusi kedukaan. Keluarga nenek memang hidup memprihatinkan, kalau boleh dibilang ‘kurang mampu’. Maka, karena suasana juga sedang berbelasungkawa, kami ikhlas saja membantu.
Waktu terus berjalan, nenek ataupun keluarganya seringkali datang hanya untuk keperluan-keperluan kecil seperti meminta air untuk masak, pinjam payung, atau yang lain. Malah terkadang, meminta hal-hal aneh seperti minta uang untuk nebus anaknya yang ditangkap polisi, pinjam uang karena cucu sakit atau banyak lagi. Parahnya, suatu hari pernah seorang laki-laki berbadan tegap dengan asap rokok mengepul menggedor-gedor rumah kami saat saya sedang sendirian.

“Bapaknya ada Bu?”
“Maaf Pak, Bapaknya lagi gak ada”
Tidak lama, pintu saya digedor lagi dengan cukup keras.
“Ada apa Pak?”
“Saya dari keluarga nenek belakang. Bisa minta tolongkah? Minta uang untuk beli bahan-bahan, nanti sore mau selamatan kedukaan”, masih dengan tampang preman dan kepulan asap.
Saya takut sekali dan langsung menutup pintu. Di kemudian hari, saya jadi tahu kalau anak-anak sang nenek terbilang cukup mampu, dan memang satu keluarga tetangga belakang sudah terkenal suka meminta-meminta. Bahkan sampai ke cucu-cucu mereka yang kecil-kecil. Entah karena pengalaman kalau sering bertemu nenek atau keluarga tetangga belakang pasti diminta ini-itu, saya jadi parno sendiri kalau bertemu mereka, dan berharap tidak dimintai. Terkadang sebel juga, mereka seringkali menggedor pintu tanpa adab, tidak peduli waktu masih sangat pagi atau malam. Sampai saya pernah marah-marah sendiri, saat sang cucu nenek menggedor pintu tiada henti hingga saya membukakannya, ternyata hanya untuk pinjam payung. Waktu itu hujan sangat deras, dan kami hendak berangkat ke kantor. 
“Memangnya mereka gak mikir apa, kita juga lagi butuh tuh payung untuk berangkat ke kantor. Lagian berapa sih harga payung, cuma dua puluh ribu saja kok berat banget buat beli?”, pagi itu akhirnya saya ngomel-ngomel sama Kak.
“Sudah, biar saja, namanya juga orang gak paham”, hibur Kak pada saya.
Akhirnya, saya membeli satu payung lagi, dan memberikan payung yang suka dipinjam itu pada mereka. Habis sebel juga, bila saat lagi asyik-asyiknya beristirahat pintu rumah digedor-gedor.

Dua tahun berlalu, akhirnya kami pindah ke rumah kontrakan yang lebih baik. Rasanya lebih damai, sebab rumah kontrakan yang baru tidak terlalu berhimpitan dengan tetangga sehingga ruang privasi lebih terjaga dan cukup harmonis dari suara-suara bising aktivitas tetangga. Dan yang terpenting dari itu semua, terbebas dari teror dua tangan penengadah.
Tapi rupanya itu tidak berselang lama, di hari minggu yang cerah, saat saya menyapu halaman di rumah baru, saya melihat sang nenek sedang berjalan melewati rumah saya. Sontak saya langsung saja menyapanya. Setelah berbasa-basi cukup lama, sang nenekpun berujar, 
“Bu, minta uangnya Bu untuk beli makan. Kasihan anak saya lagi kemah, saya mau kirim dia makanan. Sepuluh ribu aja Bu gak papa”
“Aduh maaf Bu, saya gak bisa, maaf ya”, kali ini saya sudah belajar untuk tegas dengan maksud agar sang nenek tidak terbiasa untuk terus-terusan meminta.
Setelah itu, sang nenek tidak pernah muncul sampai suatu waktu saat saya sedang di dapur, sayup-sayup terdengar Kak sedang berbicara dengan seseorang.
“Lho, kok dikasih sih, kan kita sudah sepakat…”,
saya sedikit protes melihat Kak yang ternyata memberi uang untuk sang nenek, seseorang yang sejak daritadi diajak bicara. Padahal sebelumnya kami telah bersepakat untuk tidak lagi memberikan apapun, bukan berarti pelit tapi lebih untuk mendidik.
“Kasihan Dik, kayaknya kali ini si Nenek bener-bener kesusahan, aku bisa lihat dari matanya”, yah.. bukannya dari dulu mata Nenek selalu begitu, selalu bisa meluluhkan orang, batin saya dalam hati.
Dan benar saja, tidak lama sang nenek datang lagi. Kali ini, tidak hanya sendiri. Ia datang membawa anak dan tiga cucunya. 
Ternyata, memang tidak mudah mengubah kebiasaan seseorang. Saya hanya bisa terdiam, tergugu, lalu kemudian beristighfar. Astaghfirullohal adzim … lain waktu, kita coba lagi ya Kak!.

Dari Abu Huroiroh r.a bahwa Nabi S.A.W bersabda: Bukanlah orang yang miskin orang yang berkeliling meminta-minta [yaitu orang yang berkeliling kepada orang lain untuk meminta-minta lalu dia ditolak satu suap atau dua suap atau satu biji kurma dan dua biji kurma]. Lalu mereka bertanya: siapakah orang yang miskin tersebut wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Orang yang tidak memiliki apa yang mencukupinya dan tidak pandai mencari lalu orang-orang bersedekah kepadanya serta tidak meminta kepada orang lain sesuatu apapun.




Tulisan ini menjadi tulisan terbaik 
di ajang FTS [Flash True Story] Religi pertama
 yang saya ikuti di grup kepenulisan Antologi Es Campur
'Antara Aku dan Tetangga' 
dan dibukukan bersama puluhan kisah lainnya
dalam buku 'Antara Aku dan Tetangga' oleh Ae Publishing. 


Buku ini memuat kisah-kisah inspiratif nyata tentang kehidupan kita dan tetangga.


Silahkan menikmati gizi dari setiap kisah-kisah nyata bertabur hikmah ini: 





You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



0 komentar