Fiksi

-100- Seerat Genggaman Jemari

Tuesday, February 05, 2013



Gemericik air menari di depan mataku. Kulihat semburat jingga hendak keluar menyembul, turut menyaksikan sebuah pertunjukan yang dihidupkan hujan siang ini. Jam menunjukkan pukul 11 lewat 35 menit. Persis sama dengan waktu ketika pertama kali kami sampai di Jakarta, dan berhujan-hujan ria menuju gerobak mie ayam di depan BRI. Hampir sama persis dengan waktu, ketika untuk pertama kalinya kami dapat bercengkerama dengan mesra di bawah putaran angin. “Aku suka sekali dengan hujan”, ucapku waktu itu. Dan benar saja, sesaat kemudian hujan menjadi sedemikian deras dan angin berputar dengan kencang.

Hujan kali ini juga mengisyaratkan sesuatu, 
Tentang rahasia alam yang mampu mengubah lahar menjadi embun, 
Tentang ‘kata kunci’  yang dapat merubah batu menjadi pasir, 
Tentang aku, dia dan apa yang telah terjadi antara kami, 
Tentang setitik rasa yang mulai bermitosis menjadi cinta,


“Jadi, mau berkelana?”
“Ya, asalkan …”, jawabku dengan tegas.
“Kamu ini wanita atau bukan sih?”, ia langsung menghentikan gerak lincah garpu, dan mendaratkannya dengan bebas, di atas kumpulan mie ayam yang tinggal separuh, sambil sedikit tertawa, renyah.
“Memangnya aku terlihat seperti kakek-kakek?”, aku merajuk.
“Setidaknya berpura-puralah malu. Seharusnya wanita seperti itu. Kamu ini lucu. Hmm… baiklah. Asalkan apa?”


Mata kami bersitatap. Ia mengerdip, nakal. Senyumnya menyungging, manis. Gurat pipinya melesung, bersipadu dengan garis tipis bibirnya yang menawan.

“Apa … apa …?”, matanya kembali menantang.
“Ya, aku mau berkelana. Asalkan bersamamu”.
Ia terdiam. Seolah tak percaya dengan kalimat yang baru saja didengarnya. Lalu kusaksikan dengan seksama setiap gerak-geriknya. Dengan malu-malu, ia merunduk. Badannya yang semula duduk dengan tegap di atas kursi plastik merah muda, perlahan dibungkukkannya, tangan kanannya kembali meraih sendok, tangan kirinya menggenggam garpu, ia menghabiskan sisa mie di mangkuknya dengan lahap.

Aku salting, salah tingkah. Apa mungkin aku terlalu berani menjawab pertanyaan kelakar seorang lelaki tampan dihadapanku ini, atau … barangkali jawabanku tadi mengusiknya, atau … jawabanku salah. Ah, lebih baik kuhabiskan saja sisa mie ayamku yang sedari tadi belum tersentuh. Kamipun saling mendiamkan. Alunan rinai hujan, denting sendok dan garpu, suara ribut orang-orang yang sedang antri memesan, suara kendaraan dengan klakson yang bersahut-sahutan. Semuanya seolah tak lagi mengusik, hanya ada kami, dan entah, mungkin bersama pikiran masing-masing, yang tak saling berpaut.

Tiba-tiba ia berdiri. Berjalan menuju seorang lelaki dengan topi lusuh dan sampiran handuk di atas bahunya, mengeluarkan selembar uang, lalu menerima kembalian. Setelah itu, kembali ke tempatku, lantas mengambil kursi, menggeretnya, persis disampingku.

“Belum selesai makannya?”
“Dilihatin gitu, mana bisa selesai?”
Gombal”,
“He? Apa? Tadi bilang apa?” aku mendelik.
“Apa? Apa?” senyumnya kembali menantang.
“Udah kok ini”. Kataku sembari meletakkan segelas kosong minuman.
Ia mengalihkan pandangannya, keluar. Menikmati senarai merdu nyanyian gerimis, yang mulai jatuh, membasahi tenda biru yang menaungi kami. Tiba-tiba ia berbalik, mengenggam tanganku dengan gemetar, erat. Hatiku berdegup, senyumku terkembang tanpa dipinta, malu bercampur mau. Ku sembunyikan pandangku, dengan berpura-pura tak melihatnya, sementara ia juga, bergerugup dengan detak jantungnya, yang mungkin tinggal satu-satu, bersenyawa pelan lewat aliran getar tangannya yang membeku, dingin.

“Eh … eh … kita mau kemana?”, ia menyeretku keluar, menembus tarian gerimis yang mulai menderas menjadi hujan. Berlomba dengan guyuran air untuk mendapatkan celah diantara hentakan-hentakan kakinya. Mencoba mengartikan setiap senyum simpulnya yang bercampur dengan peluh hujan.

“Ini adalah kelana kita yang pertama. Kita akan berkelana dari satu ruang menuju dimensi lainnya, bersama-sama.”

“Seperti ini?” tanyaku sambil mencoba melepaskan genggamannya.

“Iya, seperti ini”, katanya kembali mengokohkan kembali genggamannya, lebih erat.

Peristiwa itu, 10 tahun yang lalu, tepat satu bulan seusai akad. Aku kembali menekuri satu-persatu gambar di dalam album foto kami. Menyaksikan untaikan kisah dari hujan ke hujan, panas ke panas. Sesekali tawaku menyembul, kala melihat salah satu foto Mas Hanif yang bergaya bersama sekawanan orang utan Kalimantan enam tahun lalu, foto saat kami harus rela hidup di rumah petak 4 x 4 meter di tengah dera keramaian Surabaya, berpanas-panas naik turun lembah saat menemaninya berkelana di pulau Sumatera. Ah, teganya ia. Ia benar-benar menggenggam tangan ini dengan erat, mengajakku benar-benar berkelana, menemani dalam setiap langkah perjalanannya, 

"Kita berkelana, kita akan melakukannya, kita akan menaklukkan dunia", begitu ungkapannya padaku setiapkali aku ingin melepaskan genggamannya, beristirah. 

                                                                  ###
Kraaaak... suara pintu berderak...
Aku masih menatap air yang tersisa di dedaunan, melalui jendela. 
Sesosok lelakiku, menghampiri, semburat wajah teduhnya masih sama,  senyumnya masih memesona, aroma wangi parfumnya, hentakan kakinya, juga senyumannya...

"Saya tidak sanggup memenuhi permintaanmu kali ini", tatapannya tajam, tangannya mencoba meraih jemari-jemari mungilku yang bersembunyi di balik kain baju. 

"Aku tak setegar dugaanku semula, Mas..."

"Aku akan meminjamkan tangan kiriku, seadanya saja, menggenggamnya, dengan biasa"

"Tapi Zahra, bukan benda Mas, Ia manusia, dengan dua anak. Ia isterimu juga...", kataku terisak.

"Aku tak pernah meminta Zahra menemaniku berkelana",

"Aku yang memintanya datang sebagai penghiburmu Mas. Aku... a... ku berharap ia menjadi pelita kebahagiaan bagi kita. Tetapi... ternyata aku lemah... saat aku tahu, ternyata aku begitu tak sempurna dihadapanmu",

"Aku tak pernah menganggapmu demikian, sungguh", Mas Hanif mengambil jemariku, menggenggamnya kembali, kali ini lebih erat. 

"Tapi Mas ... aku hanya perempuan mandul... dan pesakitan". Mas Hanif menghambur, isak tangis tertahannya meruah, tumpah. Ia memelukku, seolah esok tak lagi ada hari bertemu. Lalu membopongku di atas tempat tidur. Aku tahu, raganya lelah. Aku tahu, jiwanya susah. Tetapi aku lebih tak sanggup melihatnya lebih susah karena harus merawat seorang wanita lumpuh, sepertiku. 

Dan di hari itu, Mas Hanif benar-benar melakukannya. Ia tak melepaskan genggaman tangannya, tetapi lebih mengokohkannya, erat. 

Dan, tak disangka, di kehamilan Zahra yang ketigakalinya, keajaiban datang. Dokter menyatakan bahwa aku hamil. Subhanalloh, la haula wala quwwata illa billah...

Cinta itu menempati ruang
Melampaui waktu

"Aku akan tetap menggenggammu"

"Seperti ini...", kataku sambil mengaitkan jemariku dengan jemarinya. 

"Ya, seperti ini...", katanya sembari mengeratkan genggamannya. 





Wallohu a'lam bish showab, 
Gambar dipinjam dari
http://littleromace.wordpress.com/2009/10/23/kalau-tea-dan-rayyan-bertemu-lagi/

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



8 komentar

  1. Awalnya kirain kisah nyatanya Nurin ama Fadlan, eh.. ternyata cerpen.

    ReplyDelete
  2. @Millati Indah belajar buat cerpen Milo. Sebenarnya ini aku kembangin dari kisah nyatanya. Jadi, isteri pertamanya dalam perjalanan waktu, mendapat sakit hingga lumpuh, terus akhirnya dia mencarikan isteri kedua untuk suaminya, meski suami sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan kondisi isteri pertamanya. Tak disangka, di saat kehamilan isteri kedua, isteri pertamanya hamil juga.


    Huum... tapi ... aku ngerasa endingnya masih belum dapet, lagi-lagi aku gak tahu gimana cara menyelesaikan, membuat konflik lebih gereget dan membuat hikmahnya lebih berasa.

    Namanya juga belajar ya, kasih masukan ya Milo...

    ReplyDelete
  3. aku kirain juga gitu mil hihihi udah ikut mesam mesem gitu....

    ReplyDelete
  4. @WidaAya ulala... kalau ceritaku sendiri mungkin lebih romantis dan lebih dramatis dari ini, halah...:P.

    Ayo Wid, kasih masukan...!

    ReplyDelete
  5. diminta kasih kritik buat tulisan senior, rasanya sungkan2 gimana gitu :D cerpenmu oke dik, aku suka ide ceritanya. apalagi ternyata terinspirasi dari kisah nyata. salut untuk wanita yang demikian! misalnya aku membuat cerpen dari cerita ini, yg kebayang scene pertama yg aku tulis adalah pernikahan suamiku dengan Zahra. disitu dieksplore bgm rucahnya batinku, antara bersyukur krn berhasil mendatangkan Zahra dlm hidupnya, meredam ketidakikhlasan yang berkobar, serta lara karena deraan sakit. stl itu kembali ingat masa2 mulai kelana yg full mimpi indah, lalu konflik yg trjd krn niatku bertolakan dgn suamiku. klimaksnya, ternyata aku jatuh bangun melihat anak2 suamiku dari istri lain lahir, tp kmdn aku kmbalikan semua kepada Allah lbh dalam lagi, pasrah...dan saat itu kejaiban datang. "Alhamdulillah Mas, aku hamil ...." cerita habis. hehehe...*garuk2 kepala yg g gatal, sungkan ma senior. kabur ah..

    ReplyDelete
  6. @Nimas Kinanthi Betul juga sih Mbak, karena sebenarnya aku tuh mau buat cerita hikmah, seperti biasa yang sering kubuat, karena aku lebih suka cerita2 yang *base on true story*

    Ide untuk awalannya dapetnya itu, dibuat begitu (memang sengaja untuk mengecoh pembaca agar terlihat seperti aku sendiri yang bercerita, hehe -sepertinya yang ini cukup berhasil, terbukti dengan terkecohnya Milo dan Wida- hehe).

    Masukanmu sungguh baik Mbak, terus ngasih kritikan pedas buatku ya Mbak...

    ReplyDelete
  7. aku g masuk yg berhasil kamu kecoh dik. baca kata2 openingmu udah kliatan ini fiksi (lepas dari idenya real).

    ReplyDelete
  8. @Nimas Kinanthi hah, iyayah? berarti aku kegeeran... :)

    aku punya banyak cerita yang gak selesai ditulis, gak tuntas, kebanyakan karena gak tahu cara ngasih endingnya, gak tahu cara ngeramu konfliknya. Baca cerpen2mu di Padi Surga jadi membelalakkan mataku, banyak yang kupelajari darimu Mbak...:)

    ReplyDelete