-92- Matematika Itu Menyenangkan Lho! (Bagian 3)

Thursday, December 06, 2012


Bismillahirrohmanirrohim. 

2. Kesan Pertama

Jika di awal kita berbicara mengenai konsep diri, maka selanjutnya yang penting adalah menumbuhkan Kesan Pertama. Anak-anak (termasuk juga saya) menjadikan matematika sebagai momok yang menakutkan sebab kesan yang dibangun memang seperti itu. Sejak pertama kali mengenal matematika, saya memang sudah menangkapnya sebagai pelajaran yang sulit. Saya kesulitan dalam pembagian, terlebih saya juga merasa ketakutan pada saat penugasan hafalan perkalian.

Ingatkan bagaimana dulu masing-masing kita diminta menghafalkan perkalian di luar kepala, mulai 1 s.d 10. Dibaca keras-keras dihadapan teman-teman,
Satu kali satu sama dengan 1
Tujuh kali tujuh sama dengan 49


Bergunakah penugasan tersebut? Saya rasa tidak sepenuhnya. Semenjak menghafal perkalian, saya baru benar-benar mengingat hafalan saya setelah dewasa, itupun terkadang masih lupa.

Bagaimana dengan anak-anak? meminta mereka menghafalkan perkalian, dari minggu ke minggu, begitu-begitu saja, tidak ada perkembangan yang berarti. 

Selain penugasan, hal yang membingungkan lagi ialah, terkadang anak-anak tidak paham mengapa mereka harus mempelajari matematika. Ketika SD saya benar-benar tidak paham untuk apa saya harus belajar menghitung luasan kerucut, trapesium, jajar genjang ataupun layang-layang.  Tidak pahamnya karena saya tidak bisa membayangkan penghitungan itu di dunia yang lebih nyata, lebih dari sekedar gambar di atas kertas. 


Celakanya lagi, matematika yang jelas-jelas pelajaran konkret, real atau nyata  telah bertahun-tahun diajarkan dengan pola pembelajaran persis sama bak mempelajari sejarah, penuh dengan penerawangan dan menyaksikan benda abstrak melalui gambar. 
Contohnya seperti soal berikut ini:
  1. Hari ini kakak telah mengerjakan 2/7 dari keseluruhan pekerjaan rumahnya. Jika besok kakak mengerjakan 3/7 bagian lagi. Berapakah sisa pekerjaan rumah kakak yang belum terselesaikan? (anak-anak mungkin tidak akan terlalu kesulitan dalam penghitungan penambahan atau pengurangan. Yang menjadi masalah, anak-anak seringkali tidak dapat menalar soal cerita abstrak seperti ini. Sebab, sebelumnya, mereka mengenal pecahan juga secara abstrak. Berapa sih 2/7 itu? memangnya ada pekerjaan rumah yang dikerjakan 3/7?)
Anak-anak kami di Bintang Kelas yang duduk di kelas 3 SD dan baru saja memasuki materi pecahan, tampak masih bingung dengan konsep pecahan. Mereka tidak paham maksud dibalik 1/2 (setengah), 1/4 (seperempat), 1/8 (seperdelapan), terlebih pada soal-soal pecahan yang lebih variatif. Kami kemudian mengujicoba belajar pecahan dalam suasana yang lebih menggembirakan.
Pada awalnya, saya meminta mereka mengambil selembar kertas, kemudian memberikan sebuah teka-teki sederhana tentang bagaimana cara membuat lingkaran dari selembar kertas yang muat untuk dimasuki dua orang. Membuka proses pembelajaran dengan bermain seperti ini sangat penting untuk menyiapkan anak-anak agar lebih siap dan bergembira pada saat belajar. Suasanapun riuh, masing-masing anak tampak sibuk berfikir dengan kertasnya. Bahkan ada yang sampai rela merobek kertasnya berkali-kali. Tidak berhasil-coba lagi-tidak berhasil-coba lagi. Dalam sesi seperti ini, anda bisa menikmati keseluruhan proses anak-anak, bagaimana cara mereka menghadapi sebuah tantangan dan banyak lagi.
Perlu diketahui bahwa otak manusia sebenarnya terdiri dari tiga bagian otak. Otak reptil, otak mamalia dan otak neo cartex. Saat otak reptil aktif, seseorang tidak akan dapat berfikir. Otak reptil akan aktif bila seseorang merasa tegang, stres, takut, terancam, tertekan, kurang tidur atau kondisi tubuh dan pikiran yang lemah. Itulah mengapa saat seseorang begitu tegang mengerjakan soal ujian, biasanya pikiran menjadi kosong dan tidak dapat mengingat apa yang telah dipelajari. 

Otak mamalia memiliki sistim limbic yang berperan sebagai saklar untuk menentukan otak mana yang aktif, apakah otak reptil atau otak neo cartex. Apabila seseorang dalam keadaan rileks, senang, dan tenang maka  otak neo cartex dapat aktif dan digunakan untuk berpikir. Otak neo cartex merupakan 80% dari total otak manusia.
Setelah mereka telah cukup siap menerima materi, barulah saya meminta mereka bersiap dengan selembar kertas lagi, kemudian meminta mereka menyentuh tiap bagian sisi dari kertas (saya turut mencontohkan di depan). Setelah itu, saya bertanya, berapa jumlah kertas yang kalian pegang?
Serentak, anak-anak pun menjawab, satu!. Saya mengulanginya beberapa kali, sampai mereka benar-benar sadar dan yakin bahwa kertas yang mereka pegang benar-benar hanya ada satu. Selanjutnya, saya meminta mereka melipat kertas menjadi dua bagian sama besar lalu  merobeknya menjadi dua bagian. Sekarang saya bertanya kembali, berapa kertas yang kalian pegang sekarang?
"Dua!". 
"Bagaimana kalau digabung kembali kertasnya, berapa jumlahnya?"
"Satu!"
"Nah, jadi, kertas kita tadi jumlahnya satu, kita bagi dengan besar yang sama (sambil mengajak mereka melihat kertas yang mereka pegang), jumlahnya sekarang menjadi dua. Yang ini jumlahnya satu dari dua kertas, yang ini juga satu dari dua kertas". Nah, disinilah saya mulai mengenalkan pecahan satu perdua (1/2). Selanjutnya, dengan cara yang sama, saya mengenalkan pecahan 1/4, 1/8. Setelah anak-anak mulai mengerti, pelajaran beranjak menuju pecahan yang lebih beragam seperti 2/3, 3/7, 4/5 dan seterusnya.
Di lain kesempatan, saya juga mengajak mereka belajar pecahan dengan mematah-matahkan batang lidi. Setelah itu, dengan sendirinya anak-anak mulai paham, bahkan dapat menjawab soal-soal rebutan yang saya diktekan seperti misalnya:
Ibu baru saja membeli kue bolu panjang. Ibu membaginya menjadi 8 bagian sama panjang. 2/8 roti dimakan ayah, 4/8 kue dimakan adik dan kakak. Berapakah sisa kue bolu sekarang?
Anak-anak mulai tidak kesulitan menjawab soal rebutan seperti ini bukan semata karena lancar berhitung. Tetapi mereka akan mulai membayangkan sebuah kertas atau batang lidi yang dibagi menjadi delapan bagian. Kemudian mereka akan membayangkan dua diantaranya telah diambil, membayangkan kembali empat bagian  lagi yang diambil, sisanya tinggal dua. Maka, mereka tanpa mencoret-coret kertas, lantas saling berebut menjawab, 2/8... 2/8...
Masih banyak contoh soal matematika yang menurut saya abstrak, misalnya saja soal seperti ini:
  •  Adi membeli satu buah buku dan satu buah pensil. Harga satu buku sebesar Rp 1.825. Sedangkan harga satu buah pensil sebesar Rp 1.375. Jika Adi membawa uang sebesar Rp 5.000, berapakan sisa uang Adi sekarang?
Soal ini masuk ke dalam materi tentang uang. Soalnya bukan tidak dapat dikerjakan. Bisa-bisa saja, tapi ini tidak nyata. Bayangkan, masih ada tidak uang pecahan sampai ke puluhan? yang ratusan saja sudah jarang. Anak-anak bukannya tidak tahu mengenai uang, mereka sangat mudah mengenali mana uang seribu rupiah, lima ribu rupiah atau sepuluh ribu rupiah. Tetapi, mengapa mereka menjadi kebingungan menjawab soal yang berhubungan dengan uang seperti ini? karena wujudnya yang abstrak. Saya juga cukup kesulitan membawa mereka pada uang yang 'nyata'. Karena uang recehan yang saya siapkan hanya sampai pada recehan Rp 50, itupun sangat terbatas. Dan lagi, saat ini jarang sekali jual beli dilakukan menggunakan uang puluhan, paling banter hanya sampai Rp 500.

Maka, sampai disini, saya sepakat dengan PMRI (Pendidikan Matematika Realistik Indonesia) yang merupakan adaptasi dari Realistic Mathematics Education (RME), teori pembelajaran yang dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970 oleh Freudenthal Instituut yang dimulai oleh Hans Freudenthal.

Menurutnya, matematika harus dihubungkan dengan kenyataan, berada dekat dengan peserta didik, dan relevan dengan kehidupan masyarakat agar memiliki nilai manusiawi. Pandangannya menekankan bahwa materi-materi matematika harus dapat ditranmisikan sebagai aktivitas manusia atau mathematics is a human activity (Freudenthal, 1991). Matematika sebagai aktivitas manusia dimaksudkan bahwa siswa harus diberikan kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas matematisasi pada semua topik dalam matematika dan matematika harus dikaitkan dengan situasi yang pernah dialaminya baik dalam matematika maupun dalam kehidupan sehari-hari.


Belajar matematika itu menyenangkan lho!
Tetapi kemudian, mengubah paradigma matematika sampai dengan menyiapkan pendidik matematika yang baik tidaklah mudah. Karena itu, hal paling mudah yang bisa kita lakukan adalah memberikan Kesan Pertama yang benar-benar menyenangkan. Membawa mereka bergembira dan bahagia pada saat belajar matematika, bukan sebaliknya.

Otak manusia terdiri dari 1 triliun sel otak. Dari 1 triliun ini, 100 miliar adalah sel otak aktif dan 900 miliar sek otak pendukung. Semua manusia lahir dibekali jumlah sel otak yang sama banyak. Tidak ada yang lebih banyak atau lebih sedikit. Tidak ada diskon ataupun bonus. Namun yang harus disadari, kecerdasan manusia tidak hanya ditentukan semata oleh jumlah sel otak yang ia miliki tetapi lebih ditentukan oleh seberapa banyak koneksi yang bisa terjadi di antara masing-masing sel otak. Setiap sel otak dapat memiliki kemungkinan koneksi mulai dari 1 hingga 20.000 koneksi. Jadi, bisa dibayangkan, seberapa besar potensi yang dimiliki oleh manusia.
Koneksi antarsel otak akan terjadi bila kita menggunakan dan melatih otak kita. Semakin sering otak digunakan dan dilatih, semakin banyak koneksi yang terjadi. Namun, perlu diingat, bahwa koneksi itu hanya akan terjadi bila kita dapat menciptakan arti pada apa yang kita pelajari.  (Gunawan, Adi dalam bukunya Genius Learning Strategy pada hlm. 56)

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



0 komentar