Fiksi

-83- [Behind The Scene] Rembulan Tenggelam

Friday, November 02, 2012

“…Telah ku buang anggapan ganda,

Kulihat dua dunia ini esa;

Esa yang kucari, Esa yang kutahu,

Esa yang kulihat, Esa yang kupanggil,

Ia yang pertama, Ia yang terakhir,

Ia yang lahir, Ia yang batin”

-Maulana Jalaludin Rumi-
Bismillahhirrohmanirrohim

Sebenarnya saya ingin mempersiapkan tulisan yang lain, namun sehabis kepulangan saya dari Turki–akhir-akhir ini saya senang membaca buku tentang pengalaman orang-orang yang berkelana dari negeri ke negeri, lalu membayangkan saya benar-benar pergi kesana- Najmar (sang penulis) dalam bukunya yang berjudul, ‘Finding Rumi, Catatan Petualangan Seorang Perempuan Indonesia ke Turki’ seolah dengan nyata membawa saya serta menjejaki dan menemukan Rumi. Potongan-potongan syair Rumi yang Najmar berikan pada saya telah mengetuk bagian terdalam yang saya miliki; rasa; jiwa; juga hati.

Seperti kata mas Binawan Arif (Kakak sepupu saya),

“Puisi memang begitu, hanya penulisnya yang mampu memahaminya secara utuh ...” 


Saya setengah sepakat dengan pernyataannya. Puisi memang menyimpan beragam interpretasi, masing-masing orang akan menafsirkan sendiri maknanya, masing-masing orang akan mengalami sendiri debarannya. Dan karenanya, pandangan satu orang dengan yang lainnya terhadap satu puisi yang sama, bisa jadi berbeda. Selebihnya, saya berpendapat bahwa puisi seharusnya sampai. Ia harus sampai dengan caranya sendiri kepada pemiliknya: para pembaca.

Inilah Cinta: membubung ke langit,

Setiap saat mengoyak seratus cadar,

Mula-mula mengingkari hidup;

Akhirnya melangkah tanpa kaki,

Menganggap dunia ini tak tampak,

Menganggap sepi semua yang ada di benak,

-Rumi-

Najmar juga mengajak saya memahami filosofi Tarian Sema. Tarian yang dibawakan oleh sekelompok laki-laki dengan jubah besar, rok lebar dan turban (penutup kepala) berbentuk batu nisan ala Turki dengan gerakan berputar-putar sehingga rok penari akan mengembang, mulanya hanya saya kenal melalui video klip Laskar Cinta yang dibawakan oleh Dewa 19. Saya tidak pernah paham apa hubungan lagu ini dengan Tarian Sema sampai saya bertemu Najmar. Jika ada yang kesulitan mengingat, berikut adalah petikan lirik lagu Laskar Cinta:

Laskar Cinta

Sebarkanlah benih-benih cinta

Musnahkanlah virus-virus benci

Virus yang bisa rusakkan jiwa

Dan busukkan hati

Kini, setelah mengenali Sema yang erat kaitannya dengan Rumi, saya baru bisa merasakan dengan sungguh-sungguh makna dari lagu Laskar Cinta. Tarian Sema sangat mewakili lirik lagunya. Begitupun lirik lagunya, sangat menggambarkan maksud dari Tarian Sema. Dan saya berani bertaruh, lagu ini pasti sedikit banyak terpengaruh oleh Rumi.

Begitulah, kisah yang mengawali perjumpaan saya kembali dengan puisi. Saya telah meninggalkannya cukup lama, sehingga saya bisa merasakannya dengan kuat; bahwa saya teramat sangat merindukannya. Untuk itulah, euphoria saya atas puisi pertama saya, Rembulan Tenggelam, terasa cukup berlebihan. Saya bertanya pada orang-orang tentang bagaimana pendapat mereka saat membacanya. Saya juga bertanya pada mereka, apa mereka bisa benar-benar menangkap pesan yang ingin saya sampaikan. Jawabannya pun cukup beragam. Sebagian mengatakan mengerti, sebagian lagi mengatakan sama sekali tidak paham.

Akan tetapi, saya mulai tidak lagi peduli tentang itu, kebahagiaan saya terlanjur meluap-luap dan karena itu, saya ingin membaginya. Anggap saja saya sedang syukuran, dan tulisan ini adalah sekotak kue yang bisa dibawa pulang.


“… Dia juga menjadikan padanya matahari dan bulan yang bersinar” (Q.S. Al-Furqon:61).

Rembulan adalah sesuatu yang bersinar, ia adalah cahaya sekaligus keindahan. Meski pemilik cahaya sebenarnya adalah matahari, namun matahari tidak bisa dinikmati. Matahari tidak dapat dipandang dengan mata telanjang, sedang rembulan keindahannya bisa di rasakan, juga dinikmati.

Rembulan adalah kekuatan di tengah kesunyian malam. Rembulan juga berarti petunjuk sebab para nelayan membutuhkannya sebagai jalan untuk pulang, rembulan adalah penanda berotasinya waktu. Bulan selalu purnama saat pertengahan bulan di perhitungan Qomariah, begitupun bulan selalu sabit saat penandaan awal bulan.

Rembulan tenggelam secara bahasa menandakan sinar yang redup, keindahan yang hampir sirna, kekuatan yang hendak punah.

Rembulan Tenggelam yang menjadi judul puisi ini saya maknai sebagai cahaya hati yang redup atau dengan kata lain iman yang hampir mati. Saya katakan hampir sebab tenggelam tidak sama dengan mati. Tenggelam hanya berjarak sejengkal dengan kematian, namun sesuatu bisa saja terjadi. Mungkin tiba-tiba ada mukjizat, bisa jadi datang pertolongan, atau kemungkinan terakhir, terbawa arus lalu kemudian benar-benar mati.

Rembulan tenggelam
Ombak di laut tidak lagi pasang

Ombak : kekuatan, keperkasaan, keberanian, kemampuan untuk menerjang

Laut : mewakili air, dimana dengannya Alloh menghidupkan bumi setelah mati (kering). Begitu juga dengan hati/rasa. Ialah yang memberikan sumber kehidupan bagi jiwa, juga memberikan sumber energi bagi raga.

Ombak di laut tidak lagi pasang merepresentasikan kekuatan hati yang menciut, surut.

Kau di dalam puisi ini adalah segala sesuatu yang manusia jadikan sebagai tandingan untuk disembah. Yang mereka cintai seperti mencintai Allah atau bahkan lebih. Sebagaimana yang tertulis dalam QS. Al-Baqoroh:165,

Dan diantara manusia ada orang yang menyembah Tuhan selain Allah sebagai tandingan. Yang mereka cintai seperti mencintai Allah…”

“Sudahkah Engkau (Muhammmad) melihat orang yang menjadikan hawa nafsu/keinginannya sebagai Illah/Tuhannya? Apakah Engkau akan menjadi pelindungnya?” Q.S Al-Furqon: 43.

Kau rupa

Kau wicara

Kaulah yang lebih dulu menabuh genderang

Kau rupa                                         : sesungguhnya Ia berwujud, nyata
Kau wicara                                    : Ia yang terus menerus bicara, membisik-bisikkan dan menggoda
Kau lah yang lebih dulu menabuh genderang : Ia lah yang lebih dulu menawarkan kesenangan, mengiming-ngimingi kenikmatan. Sejatinya, segala hal yang berhubungan dengan akhirat, hampir-hampir selalu terlihat sengsara dan tidak nikmat.

Rembulan tenggelam
Burung-burung bertenggerpun ikut terpejam

Burung-burung bertenggerpun ikut terpejam : saat sudah tidak ada lagi cahaya yang melingkupi hati, saat hati sudah tidak dapat lagi menjadi penunjuk menuju jalan kebenaran, maka semua yang berada di bawah kekuasaannya lambat laun juga akan terpejam, mati.


Kau dupa

Kau arca

Akulah yang lebih dulu menjadikanmu berhala

Bagian ini adalah kalimat yang paling saya suka. Saya rasa, ini adalah klimaks atau semacam inti yang ingin saya sampaikan. Bahwa acapkali sebagai manusia, kitalah yang mulai terlena dengan segala godaan dan bisikan itu, meski kita sudah jelas-jelas tahu bahwasanya itu melanggar, itu dosa, itu kejahatan, dan itu yang dilarang.

Misalnya, kita tahu bahwa zina itu dosa, perbuatan dilarang baik dalam norma dan agama. Tapi pada kenyataannya kita tetap merasa aman melakukannya, memulainya dari melakukan hal-hal yang mendekati zina. Bahkan kebanyakan manusia lebih takut hamilnya, lebih takut ketahuannya dibandingkan takut pada Tuhannya. Yah, semacam itulah.

Akan tetapi, selanjutnya, saya mulai kelimpungan kata, kehabisan ide dan tidak tahu bagaimana cara mengakhiri. Jadi, saya rasa bait ketiga dan keempat ini agak sedikit saya paksakan supaya berakhir. Sehingga kesan yang muncul juga terasa kasar dan serampangan. Ibarat seorang yang baru belajar membuat kue, kue pertama saya ini hasilnya bantat dan bentuknya acakadul. Hasil akhirnya jadi berasa kurang enak.

Rembulan tenggelam
Kau dan Aku bercuap

Kau menitah
Aku menyembah

Rembulan tenggelam

Dan Aku
Hanya mampu berceracau
Dalam diam
Berceracau dalam diam, maksudnya saya ingin menggambarkan seperti saat orang sudah tenggelam dan ingin minta tolong, suaranya tidak akan bisa maksimal, Ia seperti orang yang hendak berteriak tetapi hanya bisa ribut dalam kesunyian. Tapi agaknya saya belum kaya kosakata. Saya agak kesulitan mengingat padanan kata yang tepat dan indah. Yang saya ingat hanyalah berceracau. Jadi, ketika cahaya di hati telah mati, akan sulit bagi sang pemilik hati itu untuk berteriak minta tolong pada siapapun, sebab sejatinya ia pun kesulitan menolong dirinya sendiri.
Hanya Allah yang menguasai segala isi hati.
Nah, di saat tak ada lagi yang bisa menolong, saat genting dan darurat itulah, barulah manusia itu mengingat Tuhan.
"Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Saat mendapat kesusahan, Ia berkeluh kesah". Q.S. Al-Maarij: 19-20.

Wallohu a'lam bish showab.
Tanjung Selor Kota Ibadah
021112


You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



0 komentar