Parenting

-74- Belajar Dari Pengalaman Menjadi Anak-anak

Tuesday, September 25, 2012

        
     Sejak saya mulai bisa berjalan dan berbicara, entah umur berapa, seingat saya waktu itu saya belum masuk TK. Setiap pagi, saya selalu menguntit Bapak ke sekolah. Sekolah yang hanya terdiri dua guru kelas dan 1 kepala sekolah dengan puluhan murid ini tentu saja membuat para pengurus sekolah ini harus bekerja ekstra keras. Seringkali, saya melihat Bapak dan Ibu Guru satu lagi, bolak-balik dari satu kelas ke kelas yang lain, begitupun dengan Bapak Kepsek. Jika ada enam kelas, berarti setidaknya masing-masing guru harus mengajar dua kelas setiap harinya. Saya sih tidak terlalu peduli, yang saya tahu, di sekolah itu menyenangkan. Saya bisa bermain dengan anak-anak lain di sekolah, ikut mencoret-coret dengan kapur saat Bapak sedang menjelaskan di papan tulis, ikut belajar dan duduk di kursi murid. Setelah lelah, saya akan memanjat kursi dan duduk di meja guru di depan kelas, lalu tidur telentang, wah, puas sekali rasanya. 

Berjalannya dengan waktu, karena saya begitu bersemangat ikut ke sekolah, Bapak pun membuatkan saya pakaian terusan warna putih-merah. Tak lupa, satu tas untuk pergi ke sekolah. Saya juga diberi satu tempat duduk khusus di kelas, paling depan, bergabung bersama dengan dua anak yang lain. Saat itu, meski saya masih sangat kecil, saya hampir bisa mengingat semua yang saya alami di sekolah. Saya masih ingat betapa saya begitu iri dengan teman-teman yang lain ketika Bapak menyiapkan banyak bungkusan hadiah yang dibungkus dengan kertas warna cokelat. Bentuknya macam-macam, ada yang persegi dan ada yang bulat. Kata Bapak, itu hadiah untuk murid-murid yang menang perlombaan. Saya tidak akan pernah mendapatkan hadiah seperti itu, karena saya hanya murid bohongan, jadi saya tidak pernah diikutkan lomba.

 Saya juga ingat tentang hari paling menyenangkan di sekolah, hari itu adalah hari pembagian rapor. Saat pembagian rapor, setiap murid akan membawa buah tangan sebagai wujud terima kasih untuk Bapak dan Ibu guru. Ada yang membawa nasi bungkus, ada yang membawa kue, biskuit atau sekedar permen.  Saya tidak perlu ambil pusing seperti teman-teman yang lain, apalagi sampai dag-dig-dug-der menunggu hasil rapor, sebab tentu saja tidak akan pernah ada rapor untuk saya. Yang saya paling nantikan adalah … apa saja yang akan dibawa teman-teman pada saat itu. Berhubung muridnya banyak, sementara gurunya sedikit, biasanya harta karun yang diperoleh Bapak banyak sekali. Bisa sampai memenuhi tas plastik merah ukuran jumbo itu. Itu tanda, saatnya untuk berpesta dan makan enak. Namun sepertinya, hari pembagian rapor juga menjadi hari yang paling menyenangkan buat teman-teman yang lain. Di hari ini, semua anak membawa bekal dengan lauk enak, makan bersama lalu pulang lebih cepat. Jadi, inilah momen yang paling menyenangkan buat saya.

Saya juga masih ingat, saat ada wali murid yang memaki-maki Bapak, juga ada wali murid yang membawa golok besar karena tidak terima atas perlakuan Bapak kepada anaknya. Tapi anak itu memang keterlaluan, ia berani mengolok-ngolok guru dengan menjulurkan lidah dan menepuk-nepuk pantatnya. Saya juga masih ingat, teman-teman sekolah saya yang banyak bertelanjang kaki datang ke sekolah, sedikit sekali yang menggunakan sepatu dan seragam sekolah. Saya masih ingat saat Ibu saya mengajarkan saya pengenalan huruf, menulis, membaca, mengaji, juga berhitung. Jadi, meski ikut Bapak ke sekolah, guru yang sesungguhnya benar-benar mengajar saya adalah Ibu. Alhasil, tidak berapa lama saya pun akhirnya pandai membaca dan menulis. Saya juga masih ingat, saat ikut di kelas Bu Guru, belajar membaca. Materi di hari itu adalah membaca:

Ini Ibu Budi
Ini Bapak Budi
Lalu kami semua diajari mengeja: I – n-i-ni, Ini. Masih ingat dengan materi ini kan?
Saya juga masih ingat saat Bapak seringkali mengajak saya ke perpustakaan sekolah. Dan saya, begitu antusias membaca banyak buku atau meminjamnya untuk dibawa pulang. Waktu itu, belum banyak komik anak seperti sekarang, buku-buku yang saya baca adalah buku dengan banyak teks. Satu buku tebal yang pernah saya baca, saya lupa judulnya. Berkisah tentang seorang anak kecil dan nenek sihir. Di buku tersebut diceritakan, bahwa setiap kali kita memakan biji buah-buahan,  biji tersebut akan tumbuh menjadi pohon buah di atas kepala. Setelah itu, setiap kali makan buah jeruk atau semangka, saya takut sekali memakan bijinya. Saya takut di atas kepala saya tumbuh menjadi pohon. Setelah dewasa, ternyata saya baru menyadari telah membaca buku yang menyesatkan. Nenek sihir itu fiktif, pohon di atas kepala juga fiktif.

Seorang teman saya, begitu ketakutan dan menangis keras saat akan dibawa jalan-jalan ke stasiun radio bersama rombongan kelasnya. Ternyata sebelum itu, ia pernah bertanya pada ibunya tentang radio.

“Bu, itu di radio kok ada suara orang-orangnya. Orangnya dimana bu?”. Sang ibu, yang mungkin sedang sibuk atau tak terlalu menghiraukan pertanyaan anaknya, dengan ringannya menjawab.

“Oh, itu orangnya ada di dalam nak”.

Jadilah, teman saya itu begitu ketakutan saat dibawa rekreasi ke stasiun radio. Dalam benaknya, ia ketakutan jika nanti ia akan dipaksa masuk ke dalam radio, menjadi mengecil dan terkurung di dalam, selamanya. Orang dewasa tidak akan peduli dengan itu. Orang dewasa seringkali serampangan bicara, hanya agar anak cepat diam. Padahal apapun yang anak dapatkan, selalu membekas dan tertanam dalam ingatan.

Seorang anak juga dulu sempat mengira, bahwa adiknya keluar dari telapak kaki ibu. Ketika itu ia penasaran sekali darimana keluarnya adik. Ia pun bertanya pada sang ibu.
“Bu, adik bayi keluar darimana sih? Kok bisa keluar dari perut Ibu?”
“Keluar dari bawah nak”
“Dari bawah mana sih Bu?”
“Ya, pokoknya dari bawah”
Akhirnya, anak pun menyimpulkan sendiri, definisi ‘bawah’ yang sangat tidak jelas itu adalah telapak kaki. Karena menurut sang anak, bagian tubuh yang paling bawah adalah telapak kaki.

Terakhir, saya yang murid bohongan ini akhirnya ikut upacara di hari Senin. Bukan untuk jadi peserta, Bapak meminta saya menjadi petugas upacara. Di hari itu, saya yang begitu mungil bersama dengan kakak-kakak kelas berdiri dengan barisan sendiri. Di hari itulah, pengalaman pertama saya menjadi petugas pembaca undang-undang. Kata Bapak, itu sebagai hadiah sebab saya sudah pandai membaca. Hmm … padahal saya masih membayangkan hadiah yang berbungkus kertas cokelat itu.
___
            Pengalaman saya ikut sekolah bersama Bapak begitu membekas sampai dewasa. Sehingga, meski Bapak tidak pernah meminta saya untuk ikut menjadi guru setelah dewasa. Ketertarikan saya menjadi guru, seolah muncul dengan sendirinya. Itu sebabnya, tidak perlu merasa heran melihat anak-anak Rhoma Irama yang juga menjadi musisi, anak Soekarno yang menjadi politisi, atau anak Uya-Kuya yang pandai bermain sulap. Semua itu seolah-olah turunan genetik, namun yang sesungguhnya, hal itu lebih karena daya serap, persepsi dan pengalaman anak yang begitu kuat ketika bersama dengan orangtuanya.

            Di Bintang Kelas, seringkali kami belajar menjadi guru yang baik dengan mempraktekkan apa yang kami rasakan saat masih anak-anak dulu. Seperti kasus Puteri, Rinda dan Anisa yang pernah mogok belajar. Ceritanya, guru kelas mereka ketika itu mengundurkan diri, sehingga kami harus mengganti dengan guru kelas yang baru. Hari itu, Kak (suami saya) yang menjadi guru pengganti. Sudah hampir tiga puluh menit berlalu, Puteri, Rinda dan Anisa tidak kunjung masuk ke kelas. Setelah dicari, ternyata mereka bertiga berada di seberang jalan, keduanya sedang menangis sesenggukan.

“Pokoknya kami gak mau diajar sama Kak Fadlan, kami mau guru kami yang dulu. Kak Fadlan jahat! Kak Fadlan Jahat!”, kira-kira seperti itulah rengekan mereka bertiga. Butuh waktu cukup lama untuk membujuk mereka masuk ke dalam kelas.

Di dalam kelas, sedang berlangsung permainan rebutan menjawab pertanyaan. Entah bagaimana ceritanya, mereka yang selama di kelas cemberut tiba-tiba ikut nimbrung dan antusias seperti teman-temannya yang lain. Lucunya, setelah permainan selesai, saya mendengar percakapan mereka,

“Kak Fadlan baik ya”
“Iya, enak ya diajar sama Kak Fadlan”
“Heeh, nih aku dapat cokelat”
“Iya, aku juga dapat permen”
“Kak … Kak … besok-besok kita main lagi ya!”.
Begitulah, akhirnya mereka pulang dengan riang, seolah lupa dengan kejadian mewek-mewek tadi, tiba-tiba saja mereka terlihat begitu akrab dan dekat dengan Kak.

Setiap anak menyukai hadiah dan setiap anak tidak pernah menyimpan dendam apalagi amarah. Oleh karena itu, kami belajar untuk bisa memproporsionalkan kapan waktu yang tepat untuk memberikan hadiah dan kapan hadiah itu menjadi tidak lagi diperlukan. Anak-anak, sebagaimana saya dulu semasa kecil, juga tidak pernah benar-benar dendam dan marah. Anak-anak diciptakan sangat pemaaf meski sering bertengkar dengan temannya. Seperti Isma dan Arin, mereka berdua adalah sahabat dekat, namun tak pernah lepas dari pertengkaran. Melihat perilaku mereka berdua mengingatkan saya pada musuh terbesar saya ketika SD dulu, namanya Neng Nia. Saya dipertemukan kembali dengannya tahun lalu. Saya menyapanya dengan panggilan sayang,

“Hai, musuhku, akhirnya kita bertemu kembali”. Ha ha … tentu saja sekarang kami sudah berbaikan.

Setelah itu, lantas kami sama-sama berfikir keras tentang alasan mengapa kami bisa bermusuhan sangat lama dulu, bahkan tidak bertegur sapa hingga berhari-hari. Entahlah, ketika melihat Isma dan Arin, saya seolah melihat refleksi diri saya bersama Neng Nia di masa kecil dulu. Tingkah Isma yang arogan, keras kepala, egois, mau menang sendiri, selalu ingin dinomor satukan, selalu iri dengan teman, selalu ingin diperhatikan mengingatkan saya pada sosok teman saya itu. Saya jadi mengerti mengapa guru-guru saya dahulu berfokus untuk merubah Neng Nia, dan tidak terlalu fokus pada saya. Andai Isma bisa sedikit bersabar, mungkin tidak akan sampai terjadi pertengkaran. Tetapi, Isma dan Arin tidak separah saya dan Neng Nia ketika kecil. Isma meski sangat pemarah, memiliki sifat penyayang. Sehingga, meski berulangkali saling marah, mereka cepat sekali akur. Sedang Arin sangat cuek, jadi semarah apapun Isma, rasanya tidak terlalu berpengaruh padanya. Menghadapi keduanya mungkin tidak akan terlalu merepotkan. Sebab, seiring waktu, mereka berdua akan terus belajar mengelola emosi dan persahabatan. Meski begitu, sesekali saya juga sempat dipusingkan dengan polah tingkah mereka.

            Dari peristiwa itu, saya jadi mengingat betapa repotnya guru-guru saya yang ketika itu berusaha dengan keras mempersatukan saya dan Neng Nia. Kala itu, masing-masing kami telah memiliki geng, jadi geng saya dan geng Neng Nia saling bermusuhan. Mulai dari nasihat, pemanggilan orangtua, diberikan kesempatan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan bersama-sama dan banyak lagi. Seingat saya, silih berganti cara untuk mendamaikan, kami tidak kunjung berdamai juga.

             Di Bintang Kelas, saya juga belajar memahami perasaan anak-anak, saya belajar bagaimana mengelola perasaan anak-anak yang mulai suka terhadap lawan jenisnya. Kini saya tahu, mengapa orang dewasa terlebih guru-guru saya dulu seolah paranormal yang dengan cepat mengetahui mana anak muridnya yang sedang jatuh cinta, atau dengan siapa mereka jatuh cinta. Ternyata, setelah dewasa, saya jadi tahu bahwa mudah sekali mengetahui hal-hal berkaitan cinta yang sedang melanda anak-anak.  

            Tentang bahaya melabeli anak, saya juga punya pengalaman sendiri. Ketika itu, saat sedang berlarian dengan teman, kami mengintip guru-guru yang sedang rapat. Saya mendengar salah seorang guru berkata pada yang lain bahwa saya sekarang menjadi nakal. Waktu itu, saya belum mengerti apa artinya ‘nakal’, namun demi melihat mimik-mimik wajah para guru yang tidak menyenangkan, saya jadi tahu, bahwa ‘nakal’ itu adalah anak yang tidak lagi dianggap baik. Entahlah, saya tidak tahu perbuatan saya yang mana yang tidak baik, saya memang senang berlari, berkejar-kejaran dan bermain. Yang paling menyakitkan bagi saya, adalah saat seorang guru memberikan jatah makan pada saya dengan porsi tidak wajar, tanpa bertanya apakah saya mau makan banyak atau sedikit. Apakah saya masih lapar atau sudah kenyang. Akhirnya, saya membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menghabiskan sepiring makanan itu. Mungkin karena kesal bolak-balik menunggui saya yang tidak juga menghabiskan makanan, tanpa peduli pada saya yang tersiksa dengan makanan sebanyak itu, sang guru lantas berucap:

“Itulah tandanya anak nakal, anak nakal itu kalau makan lambat!” dengan nada tinggi dan keras. Rasanya sedih sekali ketika itu, saya benar-benar tersiksa dengan makanan dan kemarahan guru saya. Saya menangis tanpa suara saat selesai menghabiskan butir nasi yang terakhir, meski guru saya sudah pergi meninggalkan saya sejak tadi. Peristiwa ini menjadi salah satu puzzle penyebab yang menjadikan saya anak penakut. Saya takut melakukan sesuatu karena takut kembali di hujat, saya selalu takut salah, saya juga takut gagal, bahkan saya juga jadi takut berbicara. Hal yang paling saya takutkan adalah menerima kata-kata ‘nakal’ kembali, sebab menjadi anak nakal itu menyiksa dan menyakitkan. Saya merasa saya tidak seriang dulu lagi, saya juga tidak lagi merasa bebas berlari seperti dulu. Saya banyak memilih diam, sebab diam identik dengan anak baik. Dan para guru, lebih menyukai anak-anak yang diam dan duduk dengan tenang.  Menginjak remaja, saya menjadi anak yang tidak pede-an. Dan di masa SMA, barulah saya mulai mencoba bangkit dan belajar untuk menumbuhkan rasa percaya diri saya. Lihatlah, betapa lama rentang waktu akibat efek label ‘nakal’ tadi. Dan, sampai kini, entah ada hubungannya atau tidak, saya benar-benar makan dengan sangat lambat dan tidak pernah banyak. 

Terakhir,  sebelum mengakhiri tulisan ini, saya percaya bahwa setiap guru akan menjadi lebih baik lagi dengan banyak berlatih, terus berlatih, dan belajar dari penggalan pengalaman demi pengalaman. 


You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



1 komentar

  1. Tulisannya bagus mbak, memotifasi pada guru agar bisa menjadi pendidik yang lebih baik.

    ReplyDelete