Wisata

-71- Around The World: Makassar In South Sulawesi

Friday, August 31, 2012

Makassar, Doa yang Tertolak

Kualat. Mungkin itu padanan kata yang tepat. Mengingat berbilang tahun yang telah lewat –kurang lebih 10 tahun lalu- doa aneh saya agar tidak berjodoh dengan pemuda Sulawesi, agar diizinkan berkelana mengelilingi dunia tanpa pernah menginjakkan kaki ke Pulau Sulawesi malah berujung sebaliknya. Kini saya menjadi isteri dari seorang pemuda keturunan Muna-Sultra dan Banggai-Sulteng. Sementara itu, Pulau Sulawesi menjadi tempat yang paling sering saya kunjungi, setidaknya satu tahun sekali.

And then, this is the first time i tread on Makassar. 


Tujuh Agustus 2012, cuaca panas segera menyapa sesampainya saya di Bandar Udara Sultan Hasanudin. Tujuan saya kemari adalah menjenguk Bapak yang sedang dirawat di RS Wahidin, sedang Kak telah berangkat terlebih dahulu dua minggu yang lalu. Saya berfikir cukup lama untuk menceritakan pengalaman saya di Makassar. Hmmm... tapi setelah saya timbang-timbang, sayang juga. Sebenarnya sudah ada beberapa tempat yang telah kami (saya dan Kak) kunjungi, berhubung dulu belum punya blog, jadi tidak sempat tercatat rapi. Lagi pula, diantara beberapa tempat yang kami kunjungi, pengalaman di Makassar terasa sebagai the best journey, terutama buat saya. Yah, meskipun ini bukan kunjungan wisata apalagi bulan madu untuk puluhan kali. Meskipun kami tidak menginap di hotel dengan fasilitas yang mumpuni, hanya tidur di selembar tikar di atas lantai Rumah Sakit. Bersyukur sekali, Allah memberikan kami kesempatan waktu untuk berkeliling, dengan menaiki Pete-pete (sebutan untuk angkot) dengan gaya asal naik, hanya untuk berkeliling melihat pemandangan kota dilanjutkan dengan mengunjungi beberapa tempat yang sepertinya heboh banget saat di televisi seperti Pantai Losari,  Fort Rotterdam, Trans Studio Makassar, Mol Karebosi,dan beberapa tempat yang sepertinya hanya orang-orang seperti saya yang begitu bergembira pergi kesana, Museum. Yeah, Museum.

Makassar, Kemana-mana Sering Nyasar

Beberapa pengalaman lucu juga kami alami, seperti saat terkena apes akibat abang bentor (becak motor) sotoy. 

Pertama: saat kami minta diantarkan pergi ke makam Raja-raja dan Syeikh Yusuf. Saat memanggil bentor, 

"Bang, antar kami ke makam Syeikh Yusuf", begitu kata Kak. 

Saya pun mengingatkannya, seharusnya mengatakan minta antar ke makam Raja-raja, karena saya takut meskipun Syeikh Yusuf termasuk tokoh terkenal, tidak semua orang mengenalnya. Tidak begitu lama, bentorpun berhenti di sebuah tempat yang emmmmm, sejujurnya saya agak merasa aneh dengan tempat tersebut. Tidak terlihat seperti kuburan, sama sekali berbeda dengan foto makam yang sebelumnya saya lihat di Museum, terdapat panggung, tempat duduk dan taman, seperti tempat anak-anak muda kongkow, dan lagi, ini mana kuburannya?. Namun demi melihat, tulisan 'Syeikh Yusuf Discovery', tampang abang bentor yang begitu meyakinkan, dan demi menjaga perasaan Kak yang sudah mau menemani saya ke tempat ini, saya pun diam saja. Lalu, kamipun berfoto disini sampai puas. Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi Benteng Somba Opu. Sesampainya disana, saat kami bercakap-cakap dengan salah seorang petugas Museum dan ditanya, 

"Sebelumnya darimana?"

Dengan bangganya, kami bercerita bahwa seharian ini kami telah mengunjungi tempat ini dan itu, juga ke tempat Syeikh Yusuf. Petugas museum nampak tidak percaya saat kami mengatakan tempat yang terakhir, sehingga harus mengulang pertanyaan, "yang dimana tempatnya?". 

"Oh, kenapa siang-siang terik begini ke tempat itu? bagusnya pas sore-sore, waktu lagi ramai-ramainya, itu tempat biasa untuk kumpul-kumpul anak muda"

Ha? campur aduk rasanya mendengar fakta tersebut. Sudahlah panas, ditambah sedang puasa, sudah terlanjur bergembira juga. Ya sudahlah ...

Kedua: saat kami berada di tempat yang sepi sekali, tidak ada angkutan umum yang lewat, bentorpun jarang-jarang. Seseorang menolong kami dengan mencarikan bentor yang notabene abang bentornya sudah berumur, ditambah lagi ia tidak terlalu lancar berbahasa indonesia. Maka, dengan menggunakan bahasa bugis, seseorang tersebut menitipkan kami padanya, intinya sih dia mengatakan, 
"Tolong antar temanku sampai ke tempat pete-pete yang arah Kampus (Kampus Universitas Hasanudin maksudnya)"
Di perjalanan, abang bentor terus mengajak kami mengobrol, dengan bahasa bugis tentunya. Mungkin juga, topi Daeng (saya tidak tahu topi khas Makassar yang dahulunya digunakan bangsawan bugis ini dinamai apa) yang dikenakan Kak cukup memperlihatkan kalau Kak orang bugis. Setengah berteriak, Kak pun menjawab, 
"Pak, maaf kami bukan orang bugis, tidak mengerti bahasa bugis"
Eng ... ing ... eng ... teriakan itu cuma dijawab dengan anggukan mantap disertai kalimat


"Iye...iye...". Perjalanan kami nampaknya masih jauh, siang itu jalanan sangat macet. Nah, di tengah kemacetan tersebut, tiba-tiba kami diturunkan begitu saja. 

"Loh...loh...kenapa kita diturunkan di sini? memangnya sudah sampai?" tanya saya pada Kak. Abang bentor cuma celingak-celinguk dan menggerutu tidak jelas.  

Ya sudah, akhirnya kami menurut saja. Hikmah baiknya, bentor turun persis di depan masjid saat adzan dhuhur berkumandang, jadilah kami beristirah sekaligus sholat di masjid tersebut. Dan, ini adalah ulasan beberapa tempat yang sempat kami kunjungi: 

1. Pantai Losari

Pantai Losari
Saat saya memotret lokasi ini, terus terang saya belum punya kamera. Itu hanya sekedar di foto menggunakan HP. Jadi, fotonya tidak bisa memuat seluruh tulisan 'Pantai Losari' dengan sempurna. Ditambah, kami tidak terlalu pandai mengatur tata cara pengambilan gambar sedang cuaca begitu terik saat itu. Tempat ini adalah tempat pertama yang kami kunjungi, karena saya begitu penasaran dengan gambar-gambar Pantai Losari yang begitu cantik di berbagai media termasuk di pamflet atau buletin pariwisata Makassar. Saya mengira tempat ini adalah pantai laut lepas dengan deburan ombak dan pasir putih, dengan nyiur melambai-lambai. Tapi, ow! ternyata tempat ini sudah di revitalisasi sedemikian rupa sehingga bagi saya mirip tempat tepian Mahakam atau mengingatkan saya pada tepian sungai Kayan di Bulungan.

Keistimewaan tempat ini, menurut cerita yang pernah saya baca, Pantai Losari adalah satu-satunya tempat diseluruh Indonesia, yang dapat digunakan untuk menyaksikan sunrise dan sunset disatu titik berdiri yang sama. Sehingga, boleh dikatakan, waktu terbaik untuk berkunjung adalah menjelang sore hari atau sebelum matahari terbit. Itulah sebabnya, foto-foto berlatar Pantai Losari selalu terlihat amazing. Tapi, kali ini, kami tidak sedang membuktikan kesungguhan itu, sebab kami datang menjelang siang. 

Untuk yang senang berbelanja, di sekitar Losari juga banyak toko-toko terutama yang menjajakan suvenir. Kami iseng memasuki sebuah hotel yang berhadapan dengan Pantai Losari ini, jika dilihat dari depan tidak terlalu meyakinkan sebagaimana layaknya hotel mewah. Harga kamar termurah yang ditawarkan seharga Rp 250.000, itupun sudah mendapatkan diskon bulan Ramadhan. Kamipun menyimpulkan, kemungkinan harga hotel di daerah ini berkisar antara harga tersebut atau bisa jadi lebih.


2. Fort Rotterdam

Ketua rombongan tur sebuah keluarga besar asal Belanda tampak uring-uringan saat petugas Museum La Galigo yang berada dalam komplek Fort Rotterdam meminta biaya masuk sebesar Rp 5.000 per orang. Kakek tua tersebut mengatakan telah membayar di pintu depan sebesar Rp 200.000. Saya tersenyum simpul mendengar penuturan tersebut, waduh banyak sekali sedekahnya. Ya, sebenarnya untuk memasuki komplek Fort Rotterdam tidak dipungut biaya, hanya saja setelah kita mengisi buku tamu, petugas akan berkata “seikhlasnya saja” sebuah kalimat ambigu antara meminta dan tidak. Sedangkan biaya masuk baru dikenakan ketika kita ingin memasuki Museum La Galigo yang berada di dalam. 

Fort Rotterdam atau yang dulunya dikenal dengan sebutan Benteng Ujung Pandang adalah salah satu peninggalan sejarah yang menjadi lambang kemegahan dan kejayaan Kerajaan Gowa pada abad 16 dan 17. Benteng Ujung Pandang ini mulanya dirintis pembuatannya oleh Raja Gowa IX Tumaparisi Kallona yang kemudian diselesaikan oleh Raja Gowa X Tunipalangga Ulaweng pada tahun 1545. Pemberian nama ‘Fort Rotterdam’ baru disematkan setelah Belanda pada akhirnya berhasil menguasai Benteng ini. Ialah Cornelis Speelman, yang dianggap sangat berjasa dalam menanamkan kekuasaan Kompeni Belanda di Sulawesi yang merubah nama juga bangunan-bangunan di dalam Benteng sesuai selera dan keperluan Kompeni. Sementara nama Rotterdam sebagai tanda kenangan Cornelis atas kota kelahirannya di negeri Belanda yaitu kota Rotterdam. 
Cornelis Speelman
Bentuk bangunan di Benteng ini termasuk unik, meski tidak dapat lagi menyaksikan bentuk aslinya berupa bangunan khas Makassar seperti pada pembuatan awalnya. Bangunan yang sekarang bergaya Gotik, khas arsitektur Eropa peninggalan Belanda sekaligus mengingatkan saya pada rumah tempoe doeloe dengan daun pintu dan daun jendela besar serta berlapis-lapis. Ciri khas lainnya terlihat dari beberapa pilar teras berbentuk bundar, dinding bangunan yang tinggi dan kastel. Dinding Benteng dibangun dengan cara menyusun balok-balok batu padas yang telah dipahat rapi. Ditengah-tengah areal Benteng terdapat bangunan utama yang dahulunya pertama kali didirikan. Dulu digunakan sebagai gereja, saat ini difungsikan sebagai tempat pertemuan dan ruang penjagaan peninggalan sejarah dan purbakala. Selanjutnya tidak jauh dari tempat tersebut, terdapat bangunan berbentuk arena terbuka yang difungsikan sebagai pusat kegiatan kebudayaan.  


Kami menyusuri bangunan demi bangunan yang terdapat di dalam Benteng hingga kembali bertemu dengan Museum La Galigo yang berada di sisi kanan jika dari pintu depan.  Sebelumnya, kami melewati beberapa bangunan yang saat ini digunakan sebagai kantor pemerintahan yang berada di dalam lingkungan Dirjen Kebudayaan. Suasana sangat ramai di dalam membuat kami ewuh pakewuh untuk berkeliling ruangan kantor meski beberapa pegawai menyilahkan saja jika kami ingin berkeliling. Beberapa bangunan kantor dahulunya ada yang digunakan sebagai tempat menginap para pembesar Kerajaan Buton bila datang ke Ujung Pandang. 

Beberapa bangunan di dalam benteng
Kami memasuki Museum La Galigo yang berada di sebelah kiri jika dari pintu masuk. Bangunan yang terdiri dari 3 lantai ini merupakan bekas tempat tinggal Gubernur Sulselnya Kompeni zaman dulu, namanya Cornelis Speelman. Semua ruangan di 15 bangunan dalam Benteng konon masih terpelihara keasliannya. Mengagumkan! begitu kira-kira kalimat yang langsung muncul dalam fikiran saya saat menyusuri ruangan dalam museum. Luas, tidak terlalu banyak kerusakan -mungkin saja sudah ada beberapa kali rehabilitasi-, ruangan yang digunakan sebagai museum hanya lantai 1 dan lantai 2, sedangkan lantai 3 terdapat di bawah atap.  Di dalam museum ini terdapat banyak sekali catatan sejarah tentang Kerajaan Gowa, Silsilah raja-raja, dan juga beberapa peninggalan Belanda. 
Salah satu terowongan
Masyarakat disini juga biasa menyebut Benteng ini dengan sebutan Benteng Panynnyuwa sebab jika dilihat dari atas bentuk Benteng mirip seekor penyu yang sedang merayap menuju laut yaitu Selat Makassar.  Namun saat memasuki Benteng, bentuk yang terlihat ya segi empat biasa.

Nah, untuk di Museum La Galigo di sisi kanan ini lebih banyak berisi sejarah masyarakat Sulsel. Disini terdapat banyak sekali peninggalan masa lampau, budaya masyarakat zaman dahulu yang masih menggunakan kalender tanam, pakaian adat dan kebiasaan masing-masing suku yang terdapat di Sulsel. Tidak jauh dari Museum, terdapat bangunan  bekas tempat penahanan Pangeran Diponegoro. 

   

3. Trans Studio Theme Park Makassar

Ini termasuk Ini termasuk tempat hiburan yang paling cocok bagi kalangan masyarakat yang tinggal di pelosok seperti kami, he he. Ditempat kami, Mol dan tempat hiburan semacam waterpark, kebun binatang, bioskop itu barang langka alias tidak ada. Ini juga tempat yang memakan waktu paling lama yakni 3 jam, sebab biasanya kami hanya berkunjung disuatu tempat paling lama 30 menit, namanya juga ala kadarnya. 

Disini kami bertemu kembali dengan rombongan keluarga Belanda di Fort Rotterdam tadi. Trans Studio Theme Park Makassar adalah tempat hiburan indor terbesar di Indonesia. Setelah di Makassar, Theme Park terbesar kedua ada di Bandung. Disini, disajikan 21 wahana permainan yang semuanya memuaskan. Seorang pengunjung lain bahkan sempat berceletuk, "ini tempat yang paling pas buat orang-orang stres". Permainannya beragam, bagi yang pernah berkunjung ke Ancol, ya hampir miriplah. Berhubung saat kami berkunjung kesini di hari kerja, tiket masuknya Rp 100.000, dihari libur tiket masuk bisa sampai Rp 160.000. Setelah melalui pintu pemeriksaan di garda depan, kita bisa langsung mencoba 21 wahana permainan sampai puas dan berulang-ulang tanpa harus mendaftar lagi. 

Dari kesemua permainan tersebut, yang paling berkesan bagi saya adalah saat menonton pertunjukan drama musikal di Bioskop Trans TV yang selalu ditampilkan tepat pukul 14.00 siang. Akting para pemain sangat memukau, ceritanya juga bagus. Saya sampai menangis terharu, bukan karena kisah percintaan yang ditampilkan dalam drama. Saya terharu karena bersyukur Allah tidak mengabulkan doa saya untuk tidak mengunjungi Sulawesi. Jika dikabulkan, mungkin saya tidak akan pernah ke Makassar dan melihat keindahan sejarah juga hiburan sejenis ini. Terus terang, ini untuk pertamakalinya saya merasa benar-benar fresh, tidak memikirkan apapun, Hiks. Kak yang sedari tadi memperhatikan saya, sempat heran juga, dikiranya saya terlalu hanyut dalam cerita, sampai menangis segala. Ternyata benar perkataan ibu tadi, tempat ini benar-benar menghibur dan menghilangkan stres. Jadi, jika ada kesempatan mengunjungi Makassar, datanglah berlibur di Trans Studio Theme Park Makassar ini. 




Lanjutkan membaca kisah ini di: -75- The Imperium Of Gowa, Makassar Part 2 


You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



4 komentar

  1. tulisan tulisannya bagus, menarik dan enak dibaca.

    ReplyDelete
  2. Setuju dengan mbak @Anonim dan tidak hanya bagus tapi memberikan spirit. mbak Nurin, Lanjutkan.........

    ReplyDelete