Quran

-64- Permisi, Air Panas Mau Lewat!

Thursday, July 05, 2012



Ini bukan tentang hawa udara panas yang menyengat ubun-ubun. Juga sama sekali tidak bersinggungan dengan musim tertentu atau jenis penyakit tertentu seperti halnya saat mendatangi seorang dokter di klinik,


Dokter : “Ibu, keluhannya apa?”
“Permisi, ‘Air Panas’ Mau Lewat!”,
Pasien  : “Ini dok, saya panas dingin, batuk-pilek”
Tapi, ‘Air panas’ disini juga bisa berkaitan dengan dua hal tadi, musim dan penyakit. Mengingat perkataan Juliet (nama samaran:red)  tempo hari,
“Duh, panas … panas … Si Romeo minggu depan mau merit cuy!”, 
pakai adegan mengipas-ngipas tubuhnya dengan lipatan koran butut, di tengah hujan deras yang sedang hebat-hebatnya, ditemani puteran AC ‘Sayonara Panas’ yang diatur pakai nomor maksimum dingin, plus sebuah kulkas ‘Cintailah Produk-produk Indonesia’ yang menganga lebar-lebar menghembuskan hawa dingin diantara leher dan tengkuknya yang tengah asyik melongokkan wajahnya beberapa kali ke dalam bagian freezer. Maka, lengkaplah sudah keedanan.  (Hah, tapi ini hanya efek dramatisasi dari saya saja). 

“Ya udah sih, kamu kan masih bisa cari pria lain yang lebih baik, lebih sholeh dan lebih pantes buat kamu”

“Yee, memangnya  nyari calon suami kayak nyari dagangan di Pasar Loak? Yang digelar dimana-mana terus tinggal di pilih?”


Beberapa hari kemudian, kena batunya juga saya. Tiba saat saya juga mengalami keedanan akibat tersiram ‘Air Panas’. Hari itu, rasanya saya lemah-letih-lesu, tidak bersemangat. 

“Kenapa? Kok murung terus?”

“Itu lho, Mbak Ida barusan nelurin buku yang ke-delapan. Lah, si Setya malah udah ngeluarin buku yang ke-11, banyak yang best-seller lagi”

“Ya udah sih, gak papa. Nanti kamu buat penerbitan aja sendiri, biar kamu bisa puas nerbitin buku-bukumu sendiri”


“Yah, emang dipikir buat penerbitan segampang kayak membalik tahu di atas penggorengan. Balik tahu aja musti lihai juga, melihat jenis tahu, tingkat kematangan, tekstur dan warna. Tahu sendirikan, jenis tahu juga macam-macam. Ada yang gampang pecah meski warnanya sudah kekuningan, ada tipe yang lengket di wajan, ada juga kan tahu yang gampang banget gosong padahal baru di tinggal sebentar?”, tapi semua pernyataan ini hanya saya simpan saja sendiri. 


“Bun, tahu gak tentang Setya? Dia itu menulis sepanjang malam, bahkan seringkali sampai pagi. Jadi wajarlah, kalau buku-bukunya banyak dan karyanya fenomenal. Dia telah mendapatkan apa yang dia usahakan”. Setya, kebetulan memang teman suami. Begitu ya, saya memang baru tahu sih. Tapi, tetap saja, untuk hal satu ini entah mengapa saya kok masih panas juga. Meskipun, level panas saya masih dalam batas ambang normal, saya jadi semakin terpacu, “ayo, kapan nulisnya?”, “kapan mau buat bukunya?”, “kapan buat karyanya”. Biasanya, ini sangat efektif dan mendongkrak semangat menulis saya. Tak berapa lama, saya lupa lagi, santai lagi, lalu tertinggal lagi. Panas lagi-semangat lagi, panas lagi-semangat lagi-. 


“Sudah, luruskan niat saja. Panas kan ada tempatnya”. Iya, memang ada tempatnya. Tapi kenapa ya, saya juga gampang 'panas' ketika melihat kaum huffazh. Dimana terkadang, antara panas karena menulis dan kaum huffazh seringkali bertabrakan. 


“Wah, ustadzah ini hafalannya luar biasa”
“Subhanalloh, Ustad yang seumuran saya itu sekarang telah menjadi ahli tafsir”
“Nah, itu pasangan muda yang bacaannya bagus sekali, sudah bersanad pula”. 


Lalu saya pun, kembali berkaca. Bagaimana saya bisa menyusul, persyaratan untuk sanad saja belum juga terpenuhi. Ujian bacaan bertahun-tahun tidak kelar, bahasa arab menguap entah kemana. Bagaimana mau fokus menulis, di tengah-tengah fokus menulis memikirkan sanad. Ditengah-tengah fokus sanad, bersiliweran ide untuk menulis.  Hidup memang butuh fokus, fokus pada satu hal utama, pada satu titik. Tapi kan, sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui jauh lebih baikkan? (tuh kan, ngeles lagi!). 


Masing-masing orang punya alasan tersendiri untuk merasa 'panas'. Tidak hanya Juliet, Rima juga terlihat begitu 'panas' ketika melihat orang lain naik jabatan, sampai merasa jengah sendiri jika bertemu dan akhirnya hanya memunculkan permusuhan. Atau Mawar yang ‘panas’ melihat orang lain berharta atau Stella yang setiap bertemu saya hampir selalu berujar, 


“Enak ya, jadi PNS, bisa cari uang berdua, bisa beli ini-itu, gak kena masalah keuangan … bla … bla … bla…”, 


Padahal kalau boleh menjawab, keduanya sama-sama ada manis-pahitnya. Manisnya jadi PNS banyak dipandang dari keuangan, pahitnya juga ada, contohnya: saat punya anak, wanita bekerja akan sibuk mencari pembantu, baby-sitter dan akan sangat kerepotan mengurus anak-anak. Sementara menjadi Ibu Rumah Tangga bisa fulltime mengurus suami dan anak-anak, pahitnya (menurut Stella adalah masalah keuangan). Tapi semua itu kan bisa di atur. Wanita bekerja bisa mengurus anak, memberinya ASI, memberinya kasih sayang yang sama banyak dengan IRT. Begitupun IRT bisa cari obyekan membantu keuangan rumah tangga. Tinggal bagaimana masing-masing belajar bersyukur. 


Dulu, saat di kereta api saya sering mendengar teriakan seperti ini. Anehnya, biasanya bukan ‘Air Panas’ betulan yang lewat, yang tampak adalah seseorang  dengan tentengan besar yang sedang dipanggul tengah sibuk menerobos segerombolan manusia lain ditengah penuh sesak.
Anehnya lagi, kalimat ini begitu efektif membuat sebagian dengan reflek memberikan jalan. Entah karena takut tersiram ‘Air Panas’ betulan atau entah karena peduli. Tapi kalau saya biasanya tanpa ba-bi-bu segera menghindar, karena saya sangka, orang tersebut benar-benar membawa ‘Air Panas’. 
Efek kalimat 'Air Panas' memang sudah terlanjur memberikan efek yang dahsyat. Namun begitu, dalam kondisi tertentu, seringkali kita membiarkan 'Air Panas' yang memang jika tersentuh kulit benar-benar panas, tersiram begitu saja tanpa upaya untuk menghindar apalagi sekedar memberikannya jalan untuk lewat. Hal ini kemudian mengingatkan saya pada sebuah ayat yang berbunyi:

"Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari Karunia-Nya. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (Q.S. An-Nisa:32) 

Saya bukan ahlinya untuk menafsirkan ayat ini, dan tentu saja ini sama sekali bukanlah penafsiran. Namun inilah pemahaman saya terhadap ayat ini, berdasarkan apa yang bisa saya mengerti. Saya menyamakannya dengan filosofi 'Air Panas'.  Bahwa siapa saja yang berusaha pasti akan mendapatkan. Hal demikian memang sudah sesuai dengan hukum alam. Kesuksesan tidak memandang suku, etnis, golongan tertentu bahkan agama. Bahkan orang-orang atheis pun akan menuai sukses atas usahanya. 

Janganlah kamu iri hati sejenak memberikan aba-aba, "Biarkan 'Air Panas' itu lewat, agar kamu tidak merasakan panas". Membiarkan diri tersiram 'Air Panas' hanya akan menyisakan penyakit. Jika kulit terbakar rasanya akan sakit sekali dan bahayanya bisa jadi menyebabkan kanker kulit, kerusakan jaringan atau banyak lagi. Begitupun jika tumpahan iri telah masuk dalam hati, penyakit ini akan sangat berbahaya karena merusak jaringan fikiran untuk terus berprasangka buruk, menambah beban, stress dan bisa jadi mati.

Karunia mengingatkan bahwa setiap manusia pasti diberi kelebihan oleh Allah. Baik itu kelebihan masalah dunia seperti halnya wajah, harta jabatan maupun ilmu. Maka jangan protes atas bagian kita, sebab apa yang menjadi kelebihan orang lain dibagian A misalnya, maka tentu telah ada bagian kelebihan kita dibagian yang lain, entah B, C, D, atau mungkin Z.  Lihatlah orang-orang penyandang disabilitas mereka biasanya punya semangat hidup dan daya juang yang tinggi mengalahkan orang-orang dengan fisik yang lengkap. Mereka yang kaya raya bukanlah tanda kebahagiaan dalam hidup, lebih banyak yang hidup sederhana jauh lebih bahagia. Karunia juga menandakan betapa maha adilnya Allah. 
Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mengapa Allah tidak langsung saja menyebutkan 'bagi kalian ada bagian dari apa yang mereka usahakan' bagi saya juga termasuk bentuk keadilan Allah. Sebab, pada dasarnya setiap manusia tidak sama. Laki-laki dan perempuan tidak sama, yang kaya dan yang miskin juga tidak sama, yang sakit dengan yang sehat sudah pasti usahanya tidak sama. Maka dari itu, tidak peduli betapa banyaknya perbedaan, disisi Allah kelak akan mendapatkan balasan sesuai dengan usahanya. 

Mohonlah kepada Allah sebagian dari Karunia-Nya, mengajarkan kita agar hanya memohon kepada Allah. Selain berusaha, mintalah juga apa yang kita inginkan pada Allah. Tidak semua yang diusahakan berbuah manis. Ada sebagian orang yang berusaha mati-matian menjadi dokter, akhirnya hanya menjadi buruh. Ada orang yang berusaha keras menjadi cantik, jadi malah jerawatan dan rusak wajahnya. Ada yang bertahun-tahun berusaha agar segera menikah, tidak juga menikah. Ada pasangan yang berusaha keras tidak ingin punya anak dengan ber-KB, kebobolan juga. Sebaliknya, pasangan lain sedang berjuang memiliki anak, belum diberi juga. Jadi, selain usaha yang keras, ingatlah bahwa semua hal yang kita peroleh semuanya karena kehendak Allah. 

Jikapun apa yang telah diusahakan tidak juga berbuah hasil, maka yakinlah bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Bahwa hanya Allahlah yang paling mengetahui apa yang terbaik buat kita. 

Jadi, mulai sekarang, siap-siap berikan jalan untuk 'Air Panas'!







Tanjung Selor Kota Ibadah, 
Gambar dipinjam dari sini

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



2 komentar

  1. Hahaha... "Awas... awas... air panas!" cara saya menyibak kerumunan dulu mang bgtu. hehe

    ReplyDelete