Fiksi

-58- From Iran to Damaskus [Edisi Borneo Rasa Swiss]

Thursday, May 31, 2012


Bismillahirrohmanirrohim. 
Melanjutkan edisi sebelumnya. 

Masih bersama Tintin. Sebelum saya pulang, Tintin mengajak saya berkunjung ke Swiss. Untuk kenang-kenangan katanya. Kebetulan di Volkerkunde Museum (museum rakyat) Universitas Zurich di Kota Zurich Swiss sedang digelar pameran tentang Kalimantan Timur bertajuk Aufschlussrelches (Napak Tilas) Borneo. Rupanya ia sangat mengenali saya yang begitu menyukai museum dan sejarah. Dan lagi, ia sengaja mengajak saya ke pameran Borneo ini sebab saya asli orang Borneo.

Pertama kali memasuki museum, saya tidak percaya betapa antusiasnya masyarakat Swiss terhadap pameran ini, meskipun untuk masuk ke pameran ini mereka dipungut bayaran. Aufschlussrelches (Napak Tilas) Borneo ini sendiri menceritakan pengalaman Wolfgang Leupold yang pernah tinggal di Kalimantan Timur pada tahun 1921-1927 (hanya 6 tahun dan bisa menjadi saksi sejarah seperti ini), saya kemudian berpikir sudah berpuluh-puluh tahun saya tinggal di Borneo, tapi belum pernah mendokumentasikan apapun tentang Borneo, bahkan beberapa hal baru saya ketahui saat di pameran ini, di Swiss, bukan negeri saya.

Wofgang Leupold sendiri adalah seorang ahli geologi berkebangsaan swiss yang bekerja untuk perusahaan Hindia Belanda. Pada tahun 1921, ia ditugaskan memimpin eksplorasi minyak bumi di pulau Bunyu (sekarang pulau Bunyu merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Bulungan, tempat tugas saya) dan Tarakan (sekarang menjadi Kota Tarakan, setelah melepaskan diri dari Kabupaten Bulungan). Namun, Leupold tak sekedar mencari minyak. Pria kelahiran 1895 dan meninggal dunia di usia 91 tahun (1986) ini juga merekam banyak sekali dokumentasi foto, tulisan dan aneka pernik khas Kaltim yang dibawanya pulang ke Zurich ketika tugasnya selesai. Nah, kehidupan masyarakat Kaltim pada awal abad 20-an inilah yang kemudian dipamerkan di Volkerhunde Museum. Pameran ini juga mengisahkan pengalaman pasangan Swiss (Leupold dan istrinya) yang tertarik dengan budaya asing dan apa yang tersisa dari beberapa tahun fase kehidupan setelah itu.

Ada seratus barang lebih yang dipamerkan di ruang museum seluas 400 persegi yang berlokasi di jantung kota Zurich tersebut. Secara umum koleksinya ada tiga jenis. Yakni, obyek fotografi, catatan ringan atau diary, barang hasil penelitian yang dibawa dari Pulau Bunyu dan Tarakan, serta pernak-pernik khas Kaltim. Leupold juga mengoleksi peta Indonesia dan Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur. Peta tempoe doeloe itu ikut dipamerkan agar pengunjung mengenal lokasi yang disinggahi Leupold selama di Indonesia.  

Salah satu koleksi foto Leupold
Ada banyak foto yang menarik perhatian saya, meski foto tersebut repro (bukan aslinya).  Salah satunya adalah foto di atas. Foto saat Leupold menggunakan alat transportasi yang biasa dinamakan 'ketinting'. Hingga saat ini, ketinting atau biasa juga disebut 'motor tempel' sejenis ini masih digunakan di tempat saya, Bulungan. Alat transportasi ini merupakan alat transportasi yang terpenting, sebab wilayah Bulungan yang didominasi sungai. Kami biasa menggunakan ketinting saat harus mengunjungi satu desa ke desa yang lainnya, atau satu kecamatan ke kecamatan lainnya. 


Petugas Sensus Penduduk 2010 dan Ketinting. Kec. Peso, Bulungan.
Foto lainnya yang juga menarik di antaranya waktu Leupold naik kapal, lalu turun dari kapal disambut sejumlah warga Pulau Bunyu dan Tarakan yang masih mengenakan pakaian tradisional. Warga juga terlihat bahu membahu membawa koper koper Leupold. Ada pula foto ketika Leupold menyusuri sungai-sungai yang kanan kirinya masih berupa semak belukar, termasuk ketika Leupold duduk-duduk santai di tengah hutan yang akan menjadi obyek penelitiannya mencari sumber minyak. Termasuk foto-foto kehidupan masyarakat Pulau Bunyu dan Tarakan yang masih tradisional seperti tradisi berburu dan upacara adat. Saya seperti sedang berkaca, saya sebagai penduduk asli saja belum punya dokumentasi selengkap ini, saya pun teringat perkataan bapak saat hendak melepas saya ke Bulungan ini  
“dokumentasikan semua yang kamu lihat di daerah barumu, buat tulisan yang mengenalkan indahnya setiap bumi yang baru kau pijak”. 

Benar juga ya, siapa tahu nanti kisah saya (Pasangan Indonesia) puluhan tahun akan datang juga akan dipamerkan di museum-museum dunia. Baiklah, keinginan ini akan saya masukkan pada daftar list ‘Mimpi’. Siapa tahu, suatu saat benar-benar terwujud. Amin.

Ada pula koleksi yang terbuat dari anyaman kayu dan rumput. Melihat model topi ini, salah seorang pengunjung dari Zurich mengatakan bahwa bisa jadi model  topi ini yang mengilhami model penutup kepala yang lagi ngetrend di Eropa. Topi bulat berajut menyamping, juga ada yang berajut ke atas. Hanya, kalau topi khas Borneo ini terbuat dari anyaman kayu dan rumput, sedangkan di Eropa terbuat dari kain dan kulit dengan kualitas tinggi. Hebat bukan?

Puas menikmati Borneo rasa Swiss, kini saya mulai paham mengapa banyak orang asing yang lebih mengenal sejarah dan budaya Indonesia daripada orang Indonesia sendiri. Lagipula, orang-orang Indonesia begitu tergila-gila dengan berkeliling luar negeri daripada berkeliling Indonesia, padahal negeri kita jauh lebih kaya akan budaya. Akhirnya, bisa jadi seperti saya, jauh-jauh ke Eropa, mempelajari keunikan negeri sendiri.

Tibalah saat saya harus meninggalkan Eropa. Sesaat sebelum saya meninggalkan Jerman, Tintin memberikan sebuah buku (katanya bisa disimpan untuk koleksi rumah baca saya), judulnya “Aufschlussreiches Borneo,  Der Geologe Wolfgang Leupold in Niederlandisc-Indien 1921-1927” (“Napak Tilas/Mengungkap Kalimantan oleh Seorang Geolog Wolfgang Leupod pada Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1921-1927). Wah, senang sekali bisa mendapatkan buku ini. Tapi itu tidak berlangsung lama, saat saya membuka halaman pertama buku ini, saya pun mengernyitkan dahi. Buku ini berbahasa Jerman. Tintin hanya tertawa  
“sudah saatnya kau belajar bahasa Jerman”,
 begitu pesannya dengan logat Jermannya yang medhok.

***
"Apa kau tahu, jika bangsa Arya sebenarnya bukanlah identitas dari bangsa Jerman?"
"Yang benar saja, darimana kau bisa tahu?"
"Aku baru saja dari Iran, dan menemukan sesuatu yang lain. Bangsa Arya identik dengan Iran. Bagaimana menurutmu jika aku menuliskan itu?"
"Kau bukan ahlinya. Jangan lakukan itu"
"Aku bisa membaca literatur, dan mencari kebenaran sumbernya"
"Aku rasa itu bukan ide bagus"
"Jadi, apa maumu?", ku tatap sosok pemuda yang kini semakin terbuka untuk diajak berdiskusi ini.
"Bagaimana kalau kita berkenalan?"

 "Baik. Siapa namamu?"

"Ahmad. Panggil saja, Ahmad"

***




From Iran to Damaskus adalah perjalanan fantasi saya bersama buku-buku atau referensi lain yang sedang saya baca. Saya mencoba menceritakan kembali apa yang saya baca dengan versi saya sekaligus ingin menunjukkan bahwa buku adalah 'jendela dunia'.
Referensi pada edisi ini:
1. Gambar Leufold dipinjam dari: http://www.indonesia-bern.org/indonesia-bern/index.php?option=com_content&task=view&id=546&Itemid=1
2. Harian Kaltim Post, Edisi Mei 2012. 


You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



5 komentar

  1. Pake URL ma anonim bisa...

    ReplyDelete
  2. Ntu beneran bukunya pake basa Jerman? Nurin punya?

    ReplyDelete
  3. @Millati Indah, tapi sebenarnya aku gak suka ama yang anonim-anoniman, nih tak uji coba dulu. Bukunya memang ada, tapi aku belum punya. Kalau ada, aku juga mau. [kan udah ku bilang, neh perjalanan fantasi, khayalan tapi berdasarkan fakta]

    ReplyDelete
  4. Kirain dikasih bukunya nyata bukan fiksi :p

    Emang anonim gak enak. Tapi, kalo anonim diilangin, yang URL gak bisa. Dilema. Kalo emang nggak sreg ada komentar anonim, hapus aja :p

    ReplyDelete