Statistisi

-43- Satu Amanah, Seribu Tanggungan

Tuesday, March 06, 2012

Setelah dua hari tidak masuk kantor, Senin pagi lalu Kepala Kantor saya, pak Yasid memanggil saya ke ruangannya. 

“Saya tidak ingin mengatakan ini sebagai isu atau sekedar kabar, tapi ini sudah merupakan kepastian”, begitu kira-kira kalimat pembuka beliau sembari memperlihatkan isi laptopnya pada saya. Disitu tertera nama saya, sebagai peserta Ratekda mewakili Seksi Nerwilis (Neraca, Wilayah dan Analisis).  

Saya menahan diri saya untuk bertanya, kenapa tiba-tiba? Kenapa memilih saya?. Walaupun sebenarnya saya sungguh patut untuk bertanya, sebab menurut saya, saya tidaklah berada dibarisan orang-orang yang diperhitungkan untuk menempati ini. Tidak ada isu, kabar atau setidaknya perbincangan yang menyebut-nyebut nama saya. Prestasi saya biasa-biasa saja, kediplinan? Saya masih biasa terlambat. Dedikasi? Saya pegawai baru tiga tahun, waktu yang amat kurang panjang untuk mengukur dedikasi. 

Bahagia, senang, jujur saja saya merasakan perasaan itu. Terlebih saat beberapa teman memberikan ucapan selamat atas amanah baru ini. Tentu saja, itu wajar. Saya merasakan perasaan yang sudah pasti akan dirasakan semua orang yang tiba-tiba mendapat kabar sebaik ini. 


          Dua hari inipun, saya masih dihinggapi perasaan tidak percaya, dan terus memaksa diri untuk tidak terlalu larut dalam euphoria berlebihan. Saya merasa malu, mengapakah saya tidak bisa sedikit saja menyamai Umar bin Abdul Aziz ketika tiba-tiba diberitahu bahwa dirinya telah diangkat menjadi khalifah. Tidak ada kegembiraan, kesenangan, apalagi berbunga-bunga. Saat itu, seketika Umar lemah lunglai tak berdaya, berdiripun tidak sanggup. Umar terpaksa dipapah sampai duduk di kursi mimbar. Umar tidak bergerak dari tempat duduknya, terdiam lama sekali. Hingga tibalah Hisyam bin Abdul Malik menjulurkan tangannya membaiat sambil berkata,

“innalillahi wa inna ilaihi rojiun”

“Ya, ketika amanah kepemimpinan umat ini diberikan kepada saya dan anda,” jawab Umar lirih.

Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, kenapa bukan kalimat ini yang tiba-tiba muncul dipikiran saya saat mendengar kabar ini. Setidaknya, sedikit seperti Umar. Sayangnya, kalimat ini baru saya ingat saat saya membaca sebuah artikel “Umar bin Abdul Azis, Sesaat Setelah Dilantik Menjadi Khalifah”. Innaliilahi wa inna ilaihi rojiun, kali ini saya pun akan memiliki jawaban yang pas dan mantap untuk diucapkan ketika nanti mungkin saja beberapa rekan menagih traktiran sebagai wujud syukur. 

“Oh tidak! Ini tidak boleh dirayakan. Sungguh, ini bukanlah sebuah kesenangan. Ini adalah berita untuk seribu tanggungan yang akan saya pikul.”
***
Setelah Umar merasa tenang hatinya dan mempunyai kekuatan untuk berbicara di hadapan masyarakatnya, dia berdiri di mimbar. Berikut sambutan singkat pemimpin adil keturunan Umar bin Khattab itu,

“Wahai manusia, saya bukanlah penentu, tapi hanya pelaksana, saya tidak mendatangkan yang baru tetapi mengikuti yang telah ada…….

Saya pun kemudian mencoba menghunjamkan sebaris kalimat ini. Duhai, Saya hanya pelaksana, yang berkewajiban menyelesaikan semua tugas dan tanggungan. Duhai, saya hanya pelaksana, belum definitif, saya pun bukanlah penentu. Saya tidak mendatangkan yang baru tetapi mengikuti yang telah ada.

Kalau masyarakat di tempat-tempat lain mau taat kepadaku seperti kalian, maka saya adalah pemimpin kalian. Tetapi jika mereka menolak saya maka saya bukanlah pemimpin kalian.” Ini adalah kalimat lanjutan dari sambutan singkat Umar bin Abdul Azis dimana setelah Umar turun dari mimbar, beberapa pengawal mendatangkan kendaraan dinas. Dan sungguh, inilah jawaban dari Umar,

 “Tidak, aku tidak menerima kendaraan dinas ini, cukuplah kendaraan sederhanaku.”

Duhai jiwa, bagaimanakah jika nanti engkau mendapat kabar yang lebih lagi daripada ini. Jika engkau menjadi pemimpin di atas, di atasnya lagi, di atasnya lagi, dan di atasnya lagi. Jika baru sekecil ini saja, secuil ini saja tidak mampu mengucap innalillah. Duhai jiwa, merintihlah, menangislah, sebab engkau harus belajar untuk itu. Setidaknya mengikut sedikit seperti Umar yang suatu saat dijumpai istrinya sedang berlinang air mata,

“Fatimah, istriku, aku kini memegang kendali umat Muhammad shallallohu alaihi wasallam, aku memikirkan yang miskin, kelaparan, sakit, tersesat, yang tidak memiliki pakaian, terdhalimi, jompo dan yang mempunyai tanggungan keluarga banyak. Aku tahu bahwa Tuhanku akan menanyaiku tentang mereka. Aku takut jika kelak tidak bisa menjawab keluhan-keluhan mereka tentang aku dihadapan Alloh.”

“Duhai jiwa, engkau kini memegang kendali atas data-data terpercaya untuk negeri ini. Engkau sudah seharusnya tahu jika Tuhanmu akan menanyaimu tentang apa yang telah engkau hasilkan sebagai informasi untuk penentu kebijakan negeri ini. Takutlah jika kelak di hadapan Alloh, engkau tidak bisa mengelak sebab kecurangan dan kesewenanganmu pada angka-angka yang engkau hasilkan.”

Malam menjelang, hujan baru saja turun.

Saya tidak akan mengeluh lagi seperti masa kuliah dulu, saat saya mengatakan betapa bencinya saya pada matematika dan betapa menderitanya saya kuliah di STIS, sebab hasilnya saya hanya ditertawakan, “kamu pasti bercanda, saya tahu kamu bisa.”

Atau ketika saya dengan jujur dan rendah diri mengatakan berapa nilai IP saya, “ya gak mungkinlah, saya gak percaya, kamu kan pintar, pasti deh IPnya di atas 3”

Jika saya kali ini mengatakan bahwasanya satu-satunya alasan saya menghindari memilih jurusan IPS saat SMU, mati-matian berusaha masuk Jurusan Sosial saat kuliah sebab satu, “sebesar-besarnya rasa tidak suka saya pada matematika, lebih besar lagi rasa tidak suka saya pada ekonomi”.

Sudahlah, tidak usah diperpanjang lagi, saya tahu pasti akan ditertawakan.

Satu amanah, seribu tanggungan. Tolong jangan tertawakan untuk kalimat yang saya Bold ini….

Tanjung Selor Kota Ibadah,
Untuk sebuah renungan.

gambar dipinjam dari:  http://www.islamedia.web.id/2011/12/merajut-ukhuwah-di-amanah-baru.html

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



5 komentar

  1. Tentu saja saya tidak akan menertawakan kalimat itu saudariku...

    Sungguh, sebuah amanah akan berat kecuali dijalani dengan penuh keikhlasan sayang...^_^ Semangat ya!!!!!

    ReplyDelete
  2. @ummihana Iya, semangat selalu Ummu Hana!!!, semangat kawan, :)

    ReplyDelete
  3. salam kenal ya mbak..:) mengingatkan saya tentang 'amanah' :)

    ReplyDelete
  4. @Juwita Hsu iya mbak, salam kenal juga ya!, tulisan-tulisan mbak tentang tokoh-tokoh juga menginspirasi, membuat saya semakin mengenal mereka, :)

    ReplyDelete
  5. Alhamdulillaah.. Udah muncul lagi.. Welkambek, Nurin..

    ReplyDelete