Parenting

-35- Matematika Itu Menyenangkan Lho! (Bagian 2)

Thursday, February 02, 2012

Melanjutkan tulisan ini sebelumnya.
"Berdasarkan pengalaman saya waktu sekolah dulu mbak, ternyata dari 20 orang teman sekelas saya tidak ada satu pun yang menyukai pelajaran ini. Kalau menurut saya, ada beberapa sebab yakni karena sang pengajar yang terlalu monoton dan memang dari tahun ke tahun, abad ke abad matematika digambarkan sebagai sesuatu yang menakutkan. Beberapa guru juga tidak menjelaskan untuk apa kita belajar integral, turunan, atau mencari fungsi - fungsi matematika. Selama saya sekolah dari SD hingga SMP saya benar - benar tidak suka dengan pelajaran ini, salah satu faktornya ya karena gurunya. Cara berfikir anak - anak dan orang dewasa tidak sama, jadi sebaiknya sebagai seorang guru yang punya banyak ilmu dan pengalaman gunakanlah cara yang disenangi anak - anak dan ternyata suasana mengajar juga diperlukan dalam pelajaran ini, jangan sampai matematika yang terkenal angker dari zaman dulu terbukti kembali di zaman ini.
Ada lagi pengalaman saya waktu SD, ketika saya salah satu kali selama pelajaran metematika ternyata selamanya saya dianggap bodoh oleh guru saya. Padahal tidak ada 1 orang pun yang bisa perkalian dikelas itu selain saya, ternyata telak sekali cara guru saya waktu itu. Saya tidak menyalahkan guru sebagai penyebab karena tidak semua penyebab datangnya dari guru, anak didik juga ternyata ikut ambil bagian. Ada salah satu teman saya yang benar - benar tidak suka pelajaran ini, hanya karena dia tidak suka berhitung. Sampai - sampai dia menghindari matematika dan masuk di Jurusan IPS di perguruan tinggi, padahal kalau disadari, matematika itu digunakan dimana-mana. Sebab matematika bukan hanya angka, perkalian, rumus, penjumlahan, pengurangan, pembagian dan lain sebagainya, tapi ada ilmu logika didalamnya. Matematika tidak akan sulit atau menakutkan apalagi angker kalau kita tahu ilmu dan memahami isinya dan jangan lupa membuka hati untuk mempelajarinya."

        Kalimat panjang diatas adalah petikan dari komentar Farida. Saya jadi teringat sebuah pernyataan ketika saya membaca sebuah buku yang kira-kira berisi seperti ini: 
"Setiap murid itu hebat, tapi tidak semua murid dididik oleh guru yang hebat"
      Interpretasi saya terhadap pernyataan tersebut adalah bahwa sebenarnya tiap murid itu pada awalnya sama, sama-sama tidak punya pengetahuan. Nah jika kemudian terjadi perbedaan kualitas murid di sekolah A dan sekolah B, atau di kota A dan kota B, sebenarnya yang patut direnungkan adalah bagaimana kualitas gurunya dulu. Bukankah pada awalnya murid sama-sama tidak tahu membaca dan menulis? bukankah pada awalnya murid sama-sama tidak tahu hitung-hitungan?
       Sayapun, baru merasakan ini ketika mulai belajar untuk mengajar. Untuk menjelaskan kepada anak-anak setingkat SD mungkin masih mudah untuk apa mereka belajar matematika. Tapi untuk memberi pemahaman kepada anak setingkat SMA mengapa mereka harus belajar trigonometri, integral, turunan, diferensial dan yang lainnya cukup sulit juga. Apalagi jika mengingat saya pun memiliki latar belakang dididik oleh guru yang jarang sekali menjelaskan mengapa saya harus mempelajari itu semua.

     Setidaknya, ada beberapa hal yang dijelaskan dalam buku referensi saya kali ini agar belajar matematika itu menjadi menyenangkan:

1. Konsep Diri Anak
   Matematika menjadi momok, salah satunya juga disebabkan oleh perlakuan guru yang tidak sengaja   merendahkan anak, seperti pengalaman Farida diatas tentunya. Konsep diri anak ini menyangkut motivasi, kepercayaan dan keyakinan anak terhadap kemampuan dirinya sendiri. Anak yang seringkali dicela hanya karena mendapatkan nilai 5 atau seringkali dibodoh-bodohi karena begitu lambat memahami pelajaran akan memiliki konsep diri yang lemah. Di Bintang Kelas saya pun mendapatkan pengalaman yang serupa, ketika salah seorang guru kami mengeluh atas ketidakmampuan salah seorang anak didik kami:
"Aduh mbak, dia itu belum paham apa-apa. Gurunya disekolah gimana ya, kok bisa dinaikin ke kelas yang lebih tinggi"
Sayangnya, ucapan tersebut diungkapkan disaat anak-anak masih belum pulang. Kasihan kalau anaknya mendengar. 
Atau saat saya sedang mencontohkan cara mengajar kepada yang lain. Saat sedang belajar, setengah berbisik seorang guru mendekat dan berkata "mbak, yang satu itu kayaknya lambat banget ya, daritadi gak nyambung terus padahal yang disebelahnya itu cepet nangkep". Saya hanya menjawab dengan pelan, "iya mbak, memang harus lebih sabar untuk mengajar dia. Sebenarnya dia itu sudah mengerti, cuma saja terkadang kalau kita beri pertanyaan apa yang ada di otaknya dengan apa yang ingin dia ucapkan itu gak sinkron, makanya kadang kalau menjawab meskipun benar agak cukup lama".

Seringkali ketika berbicang dengan Kak, kamipun mengeluhkan si A, si B atau si C. Misalnya saja Nandi, yang tidak terlalu bersemangat saat jam pelajaran namun begitu antusias mengikuti games terlebih saat pertunjukan sulap-sulapan. Nandi adalah anak pertama yang begitu penasaran bagaimana cara membuat satu bola pingpong menjadi dua, atau memindahkan dua bola di tangan kanan menjadi 3 bola di tangan kiri. Tidak ada anak yang begitu bersemangat selain Nandi sampai merelakan pulang paling akhir untuk mengetahui rahasia dibalik setiap permainan. Anak seperti Nandi yang seringkali keceplosan kami sebut sebagai anak yang malas sebenarnya adalah anak yang cerdas. Kecerdasan anak memang bermacam-macam, selidik punya selidik ternyata Nandi sangat menyukai permainan yang menantang penuh intrik seperti dalam permainan sulap pada umumnya.

Apa hubungannya konsep diri dengan matematika? ya, konsep diri positif sangat berhubungan dengan seluruh aspek kehidupan seorang manusia. Begitupun dengan kesuksesan anak saat belajar matematika. Oleh karena itu, sangat penting untuk terus menerus memberi motivasi kepada anak agar anak memiliki mental dan jiwa yang kuat tentang dirinya. Bahwa setiap anak itu mampu, setiap anak itu cerdas, setiap anak pasti bisa menguasai matematika. Namanya saja ilmu pasti, ilmu tetap, seharusnya memang lebih mudah untuk dipelajari.
Inilah salah satu contoh gambaran tentang konsep diri yang lemah. Saat kami mencari guru untuk mengajar murid-murid Sekolah Dasar di Bintang Kelas, rupanya tidak semudah yang dibayangkan. Kebanyakan dari para lulusan sarjana menolak karena merasa tidak mampu mengajar matematika, bahkan hanya untuk tingkatan SD sekalipun. Saya pun kembali berfikir, kalau para sarjana ini demikian takut dan anti matematika, tentu saja bukan karena mereka tidak bisa hitung-hitungan. Ini pasti bermasalah di awal dulu, waktu pertama kali mengenal matematika.



Silahkan melanjutkan ke Matematika Itu Menyenangkan Lho! (Bagian 3)

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



2 komentar

  1. dulu saya juga kesulitan mengerjakan mtk sd, khususnya soal uraian, tapi pandangan mulai berubah saat diajari mengerjakannya dengan melihat soal secara keseluruhan, bukan melihatnya per bagian, maksudku seperti ini kesannya "oalah ternyata cuma gitu", padahal sblumnya baru mbaca aja udah "merasa" susah

    ReplyDelete
  2. @myspaceblog iya dan anehnya kadang kita baru ngerti tuh pelajaran pas udah lewat masanya. Misalnya: saya baru ngeh pelajaran mtk SD waktu SMP, ngeh pelajaran SMA waktu kuliah. lah, waktu pas diajarin saya kemana yah kok gak nyantol-nyantol?

    ReplyDelete