Statistisi

-16- Pemimpin Dari Masa Ke Masa

Tuesday, October 18, 2011

Pak Beye
“Jadi bagaimana bagusnya kita menarik anggota? Apa seperti cara pak harto dengan menculik diam-diam? Atau cara pak Beye, pake acara panggil satu-satu ke Cikeas?”

Satu kalimat yang terlontar dari mulut seorang mahasiswi saat saya dan beberapa rekan mahasiswi Universitas Kalimantan Utara (Kaltara) berdialog tentang bagaimana memulai membangun kegiatan jurnalistik di kampus sore tadi, tak pelak berlanjut menjadi perbincangan semi serius kami berdua menjelang tidur. Kalau mengingat seloroh ide tentang bagaimana cara efektif merekrut anggota, sampai saya menuliskan ini pun, saya masih bisa tertawa dibuatnya.



“Trus masalah dana gimana?”, tanya saya pada kak.
“Minta aja ke Pemda, Pemda sini kan kaya, apalagi untuk kegiatan mahasiswa, masak sih sampai gak di kasih”
“Hmmm…bener juga, boleh dicoba…”


Tadinya, hanya sekedar mencari solusi untuk kegiatan kampus, keserempet bicara soal Pemda, pembicaraan beralih ke topik tentang pemerintah. Bagaimana ya, sebagai bagian dari pemerintah, pembicaraan seperti ini anggap saja sebagai ajang me-muhasabah diri, meng-instropeksi diri. Saya berfikir lagi, kalau saja ini zamannya pak Harto, bisa-bisa saya termasuk anggota yang di culik diam-diam nih… hi…hi…  

            “Bicara soal pemerintah, kenapa ya sepertinya pembangunan untuk perhelatan ajang olahraga besar itu terkesan dipaksakan. Kenapa ndak cari daerah yang sudah punya sarana prasarana lengkap saja, sayang uangnya…. Belum tentu dipakai tiap tahun juga gedungnya…”

            “Iya, pemerintah ini katanya mau penghematan, malah pemborosan. Masih banyak gedung-gedung sekolah yang hancur dan rusak. Kalau dananya dipakai untuk membangun sekolah, sudah berapa ribu sekolah yang terbangun. Atau dipakai untuk pembangunan jalan bagi daerah terisolir saja, kan lebih manfaat.”

            “Ndak usah jauh-jauh, gedung xxxx, gedung xxxxx, yang di daerah yyyy itu manalah dipakai lagi sekarang. Aku dengar-dengar salah satunya sekarang di kelola swasta.”

            “Ya itulah, tapi susah juga sih…. Setidaknya setiap proyek itu kan pasti ada bagi-baginya. Makanya mau gimana-gimana pak **** itu susah di tangkap polisi.”

“Pemerintah juga salah, kalau sekarang marah dan koar-koar bagiannya di caplok orang. Harusnya malah introspeksi diri, salah sendiri kurang perhatian, sekarang ada orang lain yang perhatian dan mengurusi apa yang seharusnya diurus oleh pemerintah, justru itu pemerintah sekarang harus lebih gigih, lebih perhatian dan lebih sayang pada wilayah kekuasaannya, terutama perbatasan.”

“Ohya, aku tadi baca berita, soal penggemukan kabinet itu lho, katanya itu hanya untuk mengelabui rakyat. Masak menteri yang sudah jelas-jelas terlibat kasus tidak di reshuffle, yang lain malah di reshuffle.”

“Kasihan ya jadi pemimpin. Maju salah, mundur salah, ke samping salah, ke belakang salah. Setiap kebijakan pasti ada penentangnya. Mau begini, begitu ndak ada benarnya. Pusing juga kali ya pak Beye sekarang ini…”

“Ya ndak usah di dengar semua. Kalau semua teriakan mau di dengar, ndak jadi-jadi membuat keputusan. Tapi sebandinglah…. Gajinya kan juga eM-eM an….”

“Ndak usah dengar bagaimana? Tugas pemimpin itu ya banyak-banyak mendengar. Jangan maunya sendiri saja. Hmm…biar segede apapun, kalau sebesar itu beban yang harus dipikul, memang bisa dinikmati?”




Malam semakin larut, hampir menjelang pagi, kalau tidak mendengar sayup-sayup teriakan “Woi, besok pagi kerja…kerja…cepat tidurr!!”, perbincangan kami mungkin terus berlanjut. Bicara soal pemimpin, negara, rakyat memang mengasyikkan. Seperti gambaran kepemimpinan khalifah Umar yang saya baca di hari sabtu lalu.
***
Dikisahkan genap sudah dua tahun Umar bin Abdul Aziz beristikhoroh meminta kemantapan hati kepada Alloh untuk memikul beban sebagai khalifah. Akhirnya diterimalah beban tersebut di pundaknya. Sebagai konsekuensi awal, segala kemewahan yang selama ini dinikmati bersama keluarganya ia kembalikan kepada negara. Bahkan sampai-sampai fasilitas hidup yang digunakannya jauh dari cukup untuk ukuran pemimpin sebuah negara. Rumah berdinding tanah, beratap daun kurma, makan sekadarnya, bahkan kadang ada kadang tidak. Semua itu adalah konsekuensi sebagai seorang pemimpin untuk mempelopori sebuah gaya hidup. Dari bermewah-mewah menjadi bersederhana. Atau dari berleha-leha menjadi berserius ria dalam mengemban amanah rakyat.

Suatu ketika Umar bin Abdul Aziz merasakan lelah yang sangat luar biasa. Secara manusiawi ia menginginkan istirahat barang sejenak. Maka acara bertemu dengan rakyatnya dia tunda sampai ba’da sholat Jumat. Di tengah istirahatnya datang anak lelakinya dan mengatakan,

“Wahai ayah, di luar sudah banyak rakyat yang menunggu pelayananmu.”
“Sebentar anakku, aku ingin istirahat sejenak, karena lelah yang ada dalam tubuhku, selesai jumatan nanti semua urusan akan aku selesaikan,” jawab Umar.

Namun anaknya menyahut, “Wahai ayah, siapa yang dapat menjamin umur ayah sampai ba’da jumat nanti?” pertanyaan sekaligus pukulan dari mulut anaknya ternyata dapat memberikan energi yang sangat luar biasa bagi Umar untuk kembali menemui rakyatnya.
***
          Jauh sekali perbedaan gambaran pemimpin terdahulu dengan yang ada saat ini. Beritahu saya, pemimpin mana di zaman ini yang melakukan istikhoroh selama itu sebelum menerima jabatan, selama satu bulan penuh saja kalau ada. Atau pemimpin yang mencontoh khalifah Umar, dari bermewah-mewah menjadi bersederhana ria?. Khalifah umar memiliki seorang anak soleh yang luar biasa yang sewaktu-waktu dapat mengingatkannya akan amanah yang di embannya. Subhanalloh, masih adakah gambaran kepemimpinan yang seperti ini sekarang?.
______
Pagi ini, sambil menyeruput teh hangat dan pisang keju di depan televisi, acara Royal Wedding sang Putri Keraton nampaknya menjadi topik baru yang menarik untuk kami perbicangkan. Baru saja mau dimulai,  eh ada jeda iklan. Sebuah iklan program pemerintah yang saat ini giat digembor-gemborkan. Kami pun saling beradu pandang, tersenyum dan tidak lama tertawa. Hampir bersamaan, eh, aku punya lagu baru….

Jangan Kawin lambat-lambat
Ayo hamil cepat-cepat
Punya anak rapat-rapat
Agar tidak terlambat

Ups… Tenang-tenang… saya masih ingat status sebagai bagian dari pemerintah.

            Dua anak lebih, baik!!   *loh..*








Tanjung Selor Kota Ibadah
18 September 2011

You Might Also Like

Terimakasih telah membaca dan meninggalkan jejak komentar sebagai wujud apresiasi. ^_^ Semoga postingan ini dapat memberi manfaat dan mohon maaf komentar berupa spam atau link hidup akan dihapus. Terima kasih.



0 komentar